widgets

Minggu, 29 Mei 2011

Memahami Makna Thalabul Ilmi (Belajar)



       Pada bulan Juni ini setiap siswa di berbagai lembaga pendidikan pasti akan menerima hasil dari proses belajar mereka. Ada yang naik kelas dan ada yang tidak. Ada yang lulus dan ada yang tidak lulus. Ekspresi jiwa dari masing-masing mereka pun beragam. Ada yang gembira karena berhasil. Ada yang biasa-biasa saja ketika berhasil maupun tidak. Dan, ada yang bersedih bahkan patah semangat karena tidak naik kelas maupun tidak lulus. Terlebih orang tua, yang memiliki harapan besar atas keberhasilan putra-putrinya, akan merasa sangat terpukul saat mereka mengetahui putra atau putrinya 'gagal' dalam menjalani proses pendidikan. Sementara orang tua yang putra atau putrinya berhasil, akan merasa bergembira meski ada sebagian dari mereka yang belum memahami benar tentang makna hakiki dari belajar atau yang biasa disebut dengan thalabul ilmi.
       Oleh karena itu ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh mereka dan juga orang tua mereka, selaku penanggung jawab mereka dalam hal pendidikan. Bahkan orang tua-lah  yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah pada hari kiamat kelak, tentang anak-anak mereka. Sebagaimana sabda Nabi Shollallohu alaihi wa salam yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra., Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”(HR Al-Bukhari dan Muslim)
      Diantara pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:
      Pertama: Sudah benarkah tujuan mereka dalam mencari ilmu?
      Apakah tujuan mereka dalam mencari ilmu benar-benar untuk mencari ridha Allah dan agar berguna bagi agama Islam serta masyarakat secara umum?
      Ataukah tujuan mereka semata-mata hanya untuk mencari ijazah, yang akan mereka gunakan untuk mendapatkan pekerjaan, pangkat, jabatan atau kedudukan?
      Atau barangkali ada yang sama sekali tidak punya tujuan dalam mencari ilmu?
      Jika mereka menjawab bahwa tujuan mereka dalam mencari ilmu adalah semata-mata mencari ridha Allah dan agar berguna bagi agama Islam serta masyarakat secara umum, maka mereka pantas berbahagia. Sebab Nabi Shollallohu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa meniti suatu jalan untuk mencari ilmu (agama Islam), maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju surga. (HR Muslim)
      Namun jika jawaban mereka selain untuk mencari ridha Allah, dan justru hanya untuk mendapatkan harta, pangkat, jabatan dan kedudukan, maka hendaknya mereka beristighfar dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab meniatkan amalan yang disyariatkan Allah (baca: mencari ilmu Islam) untuk selain Allah, adalah termasuk syirik. Dan syirik akan menjauhkan manusia dari surga, bahkan mencium baunya saja tidak bisa.
      Nabi Shollallohu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa mempelajari suatu ilmu (ilmu syari), yang dengan ilmu itu semestinya dia mencari Wajah Allah, dia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkan kekayaan dunia, maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat. (HR Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Sunan Abi Dawud III/323/no:3664).
      Jadi, mencari ilmu harus semata-mata untuk mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala.
      Kedua: Apakah mereka faham dengan maksud ilmu yang wajib dipelajari sebagaimana dalam hadits berikut:  Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. dia berkata, Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam bersabda, “Menuntut Ilmu wajib bagi setiap muslim (laki dan perempuan).” (HR Ibnu Majah dan selainnya. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Targhib [I/72])
      Jika mereka menjawab tahu, maka sudah semestinya mereka akan memilih sebuah sekolah (tempat mencari ilmu) yang benar-benar memprioritaskan ilmu-ilmu yang wajib menurut Islam. Namun jika praktek mereka menyelisihi makna hadits tersebut di atas, pada hakikatnya mereka tidak memahami hadits tersebut. Atau bisa jadi maksud tahu mereka hanya pada batas arti tekstual saja.
      Adapun tentang maksud hadits di atas, para ulama berbeda pendapat mengenai ilmu yang wajib di pelajari.
      Dalam kitab Al-Jâmiush Shaghîr, Asy-Syuyuthi, 5264 disebutkan, bahwa mencari ilmu adalah wajib berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah, sedangkan ilmu yang wajib dipelajari adalah ilmu marifah. Yakni marifah (mengilmui) tentang Allah, Nabi, serta Agama Islam. Itulah yang kemudian populer dengan istilah ilmu Ushul Tsalatsah (Tiga Pilar Utama) yang terdiri dari marifatullah, marifatunnabi, dan marifatuddienil Islam.
      Hal ini dipertegas oleh hadits Nabi Shollallohu alaihi wa sallam, Barangsiapa mati, sedang dia mengilmui bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah, pasti masuk surga”. (HR Muslim I/55)
      Selain itu, ada dua klasifikasi pokok dalam pembagian ilmu:
1.      Ilmu Dien/Ilmu Syari:
a.       Fardhu ain, yaitu ilmu-ilmu yang akidan dan ibadah tidak benar dan tidak sah kecuali dengannya. Seperti: rukum iman dan rukun Islam.
b.      Fardhu Kifayah, yaitu ilmu yang membahas cabang ilmu dien secara detail dan rinci. Seperti ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu faraidh dll.
2.      Ilmu dunia/Ilmu kaun:
Yaitu segala ilmu yang dengan ilmu tersebut tegaklah maslahat dunia dan kehidupan. Seperti ilmu kedokteran, ilmu falak, ilmu hisab, ilmu perang, ilmu perdagangan, dan lain-lain. Hukumnya fardhu kifayah. (Al-Jami Libayanil ilmi wa fadhlihi, Ibnu Abdil Bar II/49 dan Aqidah Islamiyah, Muhammad bin Jamil Zainu 97).
      Dari uraian di atas, maka sudah seharusnya setiap orang, agar lebih memprioritaskan ilmu agama yang bersifat fardhu ain (wajib bagi setiap orang, jika ditinggalkan berdosa). Sebab jika ia tidak mengetahuinya maka akidah dan ibadahnya tidak akan menjadi benar dan sah.
      Sebagai penjelas dari ilmu fardhu ain, berikut kami sampaikan pendapat Syaikh Abdul Qadir Abdul Aziz dalam kitabnya Al-Jami fi Thalabil ilmi Asy-Syarif (I/109-139) tentang ilmu fardhu ain:
      Beliau membagi ilmu fardhu ain menjadi 3 macam:
1.      Ilmu yang wajib bagi setiap muslim dan muslimah tanpa terkecuali.
2.      Ilmu yang wajib bagi setiap muslim dan muslimah khusus yang terlibat dalam urusan tertentu, misalnya yang punya harta wajib mengetahui tentang zakatnya, yang berdagang wajib mengetahui berdagang menurut syariat.
3.      Ilmu tentang hukum kejadian atau peristiwa yang menimpa kepada dirinya atau kepada umatnya. Ilmu tentang kejadian atau peristiwa ini tidak diwajibkan sejak semula, tetapi begitu peristiwa tersebut menimpanya, maka ia wajib mengetahui ilmunya. Contoh kejadian yang menimpa umat saat ini adalah berhukum dengan selain syariat Islam dan ajakan kepada demokrasi, maka wajib setiap muslim dan muslimah mengetahui masalah ini.
Namun di sini kami hanya akan menyampaikan contoh dari ilmu fardhu ain pada bagian pertama saja yaitu ilmu yang wajib bagi setiap muslim dan muslimah tanpa terkecuali: yakni mengetahui:
·         Rukun Islam
·         Rukun Iman
·         Pembagian tauhid dan syarat-syarat sahnya.
·         Hal-hal yang membatalkan Islam dan bahwasanya mengkufuri thaghut adalah termasuk syarat sahnya Islam seseorang.
·         Ibadah-ibadah hati yang wajib, seperti ikhlas, mahabbah dll.
·         Menghafal surat Al-Fatihah karena termasuk rukun shalat.
·         Hukum-hukum thaharah
·         Hukum-hukum shalat supaya shalatnya sah.
·         Hukum-hukum puasa supaya puasanya sah.
·         Hukum-hukum jenazah sebagai persiapan jika pada suatu saat dituntut mengurusinya karena tidak ada orang lain.
·         Syarat-syarat wajibnya zakat. Jika ia termasuk orang yang wajib zakat, maka wajib mengetahui hukum-hukumnya
·         Syarat-syarat wajibnya haji. Jika dia termasuk berkewajiban karena mampu, maka wajib mengetahui hukum-hukumnya.
·         Syarat-syarat wajibnya jihad. Jika dia termasuk yang berkewajiban jihad, maka wajib mengetahui hukum-hukumnya.
·         Adab-adab yang diwajibkan syariat kepada setiap muslim dan muslimah. Misalnya: berbakti kepada kedua orang tua, kewajiban terhadap keluarganya (istri, anak-anak dsb), hak muslim kepada muslim lainnya, kewajiban minta izin, wajib makan yang halal dan menghindari yang haram, jujur dan amanah, amar makruf nahi munkar, wajibnya jilbab syari termasuk menutup sebagian besar dari wajah serta berhijab dari lelaki ajnabi (bukan mahram), serta istri wajib taat kepada suami dalam hal yang tidak maksiat dan memelihara hak-haknya.
·         Hal-hal yang diharamkan berupa ucapan, perbuatan, makanan, minuman, serta segala pekerjaan dan sumber penghasilan yang haram dan lain sebagainya.
·         Wajibnya bertaubat dari segala dosa yang lahir dan batin serta mengetahui syarat-syarat sahnya taubat.
·         Dan lain sebagainya.
Demikian penjelasan singkat dan global tentang makna hakiki belajar atau thalabul ilmi. Semoga para orang tua berikut putra putrinya bisa memahaminya serta mengaplikasikannya secara benar. Wallahu a'lam bish showab. (Arif Mahmudi)

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar