widgets

Rabu, 07 Desember 2011

Hukum Mengucapkan dan Menjawab Selamat Natal

Oleh: Fajar Kurniawan
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah shalawat dan salam untuk Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Nuansa Natal di negeri yang mayoritas muslim ini sudah sangat terasa kemeriahannya. Mall-mall dan pusat perbelanjaan menggelar event-event bertemakan natal. Semua itu untuk memeriahkan hari crismash yang diyakini kaum Nasrani sebagai hari kelahiran al Masih atau Jesus yang diklaim sebagai tuhan atau anak Tuhan.
Dalam akidah Islam Isa putera Maryam adalah Nabi dan Rasul Allah Ta’ala. Dia bukan anak Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri. Bahkan Allah Ta’ala telah membantah di banyak ayat-Nya bahwa Dia menjadikan Isa sebagai putera-Nya,
وَأَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَلَا وَلَدًا
Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.” (QS. al-Jin: 3)
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-An’am: 101)
Allah mengabarkan bahwa Dia Mahakaya tidak butuh kepada yang lainnya. Dia tidak butuh mengangkat seorang anak dari makhluk-Nya.
قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَذَا أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Yunus: 68)
Sesungguhnya umat Kristiani telah berlaku lancang kepada Allah dengan menuduh-Nya telah mengangkat seorang hamba dan utusan-Nya sebagai anak-Nya yang mewarisi sifat-sifat-Nya. Karena ucapan mereka ini, hamper-hampir langit dan bumi pecah karenanya.
"Dan mereka berkata: 'Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak'. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba." (QS. Maryam: 88-93)
Sesungguhnya umat Kristiani telah berlaku lancang kepada Allah dengan menuduh-Nya telah mengangkat seorang hamba dan utusan-Nya sebagai anak-Nya yang mewarisi sifat-sifat-Nya. Karena ucapan mereka ini, hamper-hampir langit dan bumi pecah karenanya.
Maka tidak mungkin seorang muslim yang mentauhidkan Allah akan ikut serta, mendukung, mengucapkan selamat atasnya, dan bergembira dengan perayaan-perayaan hari raya tersebut yang jelas-jelas menghina Allah dengan terang-terangan. Keyakinan ini membatalkan peribadatan kepada Allah, karena inilah Allah Ta'ala menyifati Ibadurrahman bersih dari semua itu:
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ
"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu. . ." (QS. Al Furqaan: 72) Makna al Zuur, adalah hari raya dan hari besar kaum musyrikin sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas, Abul 'Aliyah, Ibnu sirin, dan ulama lainnya dari kalangan sahabat dan tabi'in.
Namun di tengah-tengah zaman penuh fitnah ini, prinsip akidah yang sudah tertera sejak 1400 tahun yang lalu mulai digoyang dan dianulir. Atas dalih toleransi umat beragama, menghormati perayaan agama orang lain. Dengan dalih kerukunan antarumat beragama, sebagian umat Islam ikut-ikutan merayakan dan memeriahkan hari besar kufur dan syirik ini. Sebagian mereka dengan suka rela mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir atas hari raya mereka yang berisi kekufuran dan kesyirikan terebut.
Lebih tragis lagi, pembenaran saling mengucapkan selamat atas hari raya antar umat beragama dilontarkan oleh para tokoh intelektual Muslim. Tidak sedikit mereka yang bergelar Profesor dan Doktor.
Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA dalam isi materi yang disampaikannya dalam pengajian ICMI Eropa bekerjasama dengan pengurus Masjid Nasuha di Rotterdam, Belanda, Jumat (17/12/2010), menyimpulkan bahwa mengucapkan selamat Natal oleh seorang muslim hukumnya mubah, dibolehkan. Menurutnya masalah mengucapkan selamat Natal adalah bagian dari mu’amalah, non-ritual. Yang pada prinsipnya semua tindakan non-ritual adalah dibolehkan, kecuali ada nash ayat atau hadits yang melarang. Dan menurut Sofjan, tidak ada satu ayat Al Quran atau hadits pun yang eksplisit melarang mengucapkan selamat atau salam kepada orang non-muslim seperti di hari Natal. (Detiknews.com, Ahad: 19/12/2010)
Prof DR HM Din Syamsuddin MA, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, mengaku terbiasa mengucapkan selamat Natal kepada pemeluk Kristen.
"Saya tiap tahun memberi ucapan selamat Natal kepada teman-teman Kristiani," katanya di hadapan ratusan umat Kristiani dalam seminar Wawasan Kebangsaan X BAMAG Jatim di Surabaya (10/10/2005).
Maka tidak mungkin seorang muslim yang mentauhidkan Allah akan ikut serta, mendukung, mengucapkan selamat atasnya, dan bergembira dengan perayaan-perayaan hari raya Natal yang jelas-jelas menghina Allah dengan terang-terangan.
Fatwa Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Utsaimin
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullaah ditanya tentang hukum mengucapkan selamat natal kepada orang kafir.
“Apa hukum mengucapkan selamat hari raya Natal kepada orang-orang kafir? Dan bagaimana kita membalas jika mereka mengucapkan Natal kepada kita? Apakah boleh mendatangi tempat-tempat yang menyelenggarakan perayaan ini? Apakah seseorang berdosa jika melakukan salah satu hal tadi tanpa maksud merayakannya? Baik itu sekedar basa-basi atau karena malu atau karena terpaksa atau karena hal lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka dalam hal itu?
Beliau rahimahullaah menjawab dengan tegas, “Mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir dengan ucapan selamat natal atau ucapan-ucapan lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama mereka hukumnya haram sesuai kesepakatan ulama. Sebagaimana kutipan dari Ibnul Qayyim rahimahullaah dalam bukunya Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, beliau menyebutkan:
“Mengucapkan selamat kepada syiar agama orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan. Seperti mengucapkan selamat atas hari raya dan puasa mereka dengan mengatakan 'Ied Muharak 'Alaik (hari raya penuh berkah atas kalian) atau selamat bergembira dengan hari raya ini dan semisalnya. Jika orang yang berkata tadi menerima kekufuran maka hal itu termasuk keharaman, statusnya seperti mengucapkan selamat bersujud kepada salib. Bahkan, di sisi Allah dosanya lebih besar dan lebih dimurkai daripada mengucapkan selamat meminum arak, selamat membunuh, berzina, dan semisalnya. Banyak orang yang tidak paham Islam terjerumus kedalamnya semantara dia tidak tahu keburukan yang telah dilakukannya. Siapa yang mengucapkan selamat kepada seseorang karena maksiatnya, kebid'ahannya, dan kekufurannya berarti dia menantang kemurkaan Allah.”Demikian ungkapan beliau rahimahullaah.
Haramnya mengucapkan selamat kepada kaum kuffar atas hari raya agama mereka, sebagaimana dipaparkan oleh Ibnul Qayyim, karena di dalamnya terdapat pengakuan atas syi’ar-syi’ar kekufuran dan ridla terhadapnya walaupun dia sendiri tidak ridha kekufuran itu bagi dirinya. Kendati demikian, bagi seorang muslim diharamkan ridha terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat dengan syi’ar tersebut  kepada orang lain, karena Allah subhanahu wa ta'ala tidak ridha terhadap semua itu, sebagaimana firman-Nya,
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Al-Zumar: 7)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3) dan mengucapkan selamat kepada mereka dengan semua itu adalah haram, baik ikut serta di dalamnya ataupun tidak.”
Mengucapkan selamat kepada syiar agama orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan.
Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka kepada kita, hendaknya kita tidak menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita dan Allah Ta’ala tidak meridhai hari raya tersebut, baik itu merupakan bid’ah atau memang ditetapkan dalam agama mereka. Namun sesungguhnya itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam yang dengannya Allah telah mengutus Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam kepada seluruh makhluk. Allah telah berfirman tentang agama Islam,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85).
Seorang muslim haram memenuhi undangan mereka dalam perayaan ini, karena ini lebih besar dari mengucapkan selamat kepada mereka, karena dalam hal itu berarti ikut serta dalam perayaan mereka. Juga diharamkan bagi kaum muslimin untuk menyamai kaum kuffar dengan mengadakan pesta-pesta dalam momentum tersebut atau saling bertukar hadiah, membagikan permen, parsel, meliburkan kerja dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Ibnu Hibban)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah dalam bukunya Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim Mukhalafah Ashab al-Jahim menyebutkan, “Menyerupai mereka dalam sebagian hari raya milik mereka menumbuhkan rasa senang pada hati mereka (kaum muslimin) terhadap keyakinan batil mereka. Dan bisa jadi memberi makan pada mereka dalam kesempatan itu dan menaklukan kaum lemah.” Demikian ucapan beliau rahimahullah.
Dan barangsiapa melakukan di antara hal-hal tadi, maka ia berdosa, baik ia melakukannya sekedar basa-basi atau karena mencintai, karena malu atau sebab lainnya. Karena perbuatan tersebut termasuk bentuk mudahanan (penyepelan) terhadap agama Allah dan bisa menyebabkan teguhnya jiwa kaum kuffar dan membanggakan agama mereka. (Al-Majmu’ Ats-Tsamin, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 3 diunduh dari situs islamway.com)

Hari Raya Merupakan Syi’ar Suatu Agama
Setiap umat memiliki hari besarnya masing-masing untuk mengenang dan menghidupkan moment tertentu atau untuk mengungkapkan kebahagiaan, kesenangan, dan syukur yang sifatnya berulang setiap tahun. Dan umat Kristiani menjadikan Natal sebagai hari besarnya.
Sementara Islam sudah menetapkan dua hari raya bagi pemeluknya untuk mengapresiasikannya dengan cara yang mulia. Yaitu dengan mengingatkan hikmah penciptaan, tugas manusia, beribadah kepada Allah, dan bergembira dengan cara yang dimubahkan.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, "Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tiba di Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bermain-main (bersenang-senang) di dalamnya. Lalu beliau bertanya, "Dua hari apa ini?" Mereka menjawab, "Dua hari yang kami bermain-main di dalamnya pada masa Jahiliyah." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dua hari tersebut dengan Idul Adha dan Idul Fitri." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah berkata kepada Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, "Hai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan inilah hari raya kita." (HR. Bukhari).
Natal Adalah Hari Raya Keagamaan Bukan Mua’amalah
Syaikh Utsaimin dalam fatwanya Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, (3/44) tentang hukum mengucapkan selamat Natal yang diposting situs islamway.com mengatakan, “Mengucapkan selamat hari raya Christmas (Natal) atau yang lainnya dari hari besar keagamaan adalah haram berdasarkan kesepakatan. Hal itu sebagaimana yang dinukil oleh Ibnul Qayim rahimahullaah dalam kitabnya Ahkam Ahli Dzimmah, beliau mengatakan:
“Mengucapkan selamat kepada syiar agama orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan. Seperti mengucapkan selamat atas hari raya dan puasa mereka dengan mengatakan 'Ied Muharak 'Alaik (hari raya penuh berkah atas kalian) atau selamat bergembira dengan hari raya ini dan semisalnya. Jika orang yang berkata tadi menerima kekufuran maka hal itu termasuk keharaman, statusnya seperti mengucapkan selamat bersujud kepada salib. Bahkan, di sisi Allah dosanya lebih besar dan lebih dimurkai daripada mengucapkan selamat meminum arak, selamat membunuh, berzina, dan semisalnya. Banyak orang yang tidak paham Islam terjerumus kedalamnya semantara dia tidak tahu keburukan yang telah dilakukannya. Siapa yang mengucapkan selamat kepada seseorang karena maksiatnya, kebid'ahannya, dan kekufurannya berarti dia menantang kemurkaan Allah.”
Kemudian Syaikh Utsaimin menuturkan alasan haramnya mengucapkan selamat atas hari raya orang kafir berdasarkan perkataan Ibnul Qayim, "Adalah karena di dalamnya terdapat pengakuan atas syi’ar-syi’ar kekufuran yang mereka yakini, ridla terhadapnya walaupun dia sendiri tidak ridla kekufuran itu bagi dirinya. Tetapi haram bagi seorang muslim ridha terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat atasnya atau yang lainnya karena Allah subhanahu wa ta'ala tidak ridha terhadap semua itu.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Al-Zumar: 7)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3) dan mengucapkan selamat kepada mereka dengan semua itu adalah haram, baik ikut serta di dalamnya ataupun tidak.”
Haram bagi seorang muslim ridha terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat atasnya atau yang lainnya karena Allah subhanahu wa ta'ala tidak ridha terhadap semua itu.
Mengucapkan Selamat Hari Raya Natal Berkaitan Dengan Akidah
Syaikh Aiman Hilmi, anggota dakwah salafiyah di kota Iskandar, dalam makalahnya al-Wala’ fi al-Islam, yang dimuraja’ah oleh DR. Alau Bakar hafidhahullah, menyebutkan bahwa hari raya-hari raya orang kafir berkaitan dengan masalah aqidah. Mengucapkan selamat berhari raya kepada mereka dan ikut serta merayakannya menunjukkan kecocokan dan keridhaan terhadap perayaan itu dan pengakuan akan kebenaran keyakinan mereka. Walaupun orang yang ikut-ikutan merayakan hari raya tersebut meyakini berbeda aqidah dengan mereka, tapi ia berada di atas bahaya besar akibat kejahilannya dalam sikapnya tersebut.
Mengucapkan selamat berhari raya kepada mereka dan ikut serta merayakannya menunjukkan kecocokan dan keridhaan terhadap perayaan itu dan pengakuan akan kebenaran keyakinan mereka.
Mengucapkan Selamat Natal Menurut KH. A. Cholil Ridwan, Lc
KH. A. Cholil Ridwan, Lc dalam Tanya jawab tentang Hukum Mengikuti Perayaan Natal Bersama yang dirilis www.suara-islam.com menyimpulkan bahwa mengucapkan selamat hari raya Natal dan berdoa bersama haram hukumnya, karena masih termasuk perbuatan mempersaksikan kebohongan atau menyerupakan diri dengan kaum kafir. Beliau mendasarkan pada firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ
"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu. . ." (QS. Al Furqaan: 72)
Dari penjelasan beliau, bahwa kalimat “laa yasyhaduuna az-zuur” dalam ayat itu menurut Ibnu Taimiyah maknanya yang tepat adalah “tidak menghadiri kebohongan (az-zuur)”, bukan “tidak memberikan kesaksian palsu”. Sedang kata “az-zuur” itu sendiri oleh sebagian tabi’in seperti Mujahid, adh-Dhahak, Rabi’ bin Anas, dan Ikrimah artinya adalah hari-hari besar kaum musyrik atau kaum jahiliyah sebelum Islam (Imam Suyuthi, Al-Amru bi Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ’An Al-Ibtida` (terj.), hal. 91-95; M. Bin Ali Adh-Dhabi’i, Mukhtarat Iqtidha` Shirathal Mustaqim (terj.), hal. 59-60).
Kemudian Kiyai Cholil –sapaan akrab beliau- menyitir perkataan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah: “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Ahkam Ahli Adz-Dzimmah Juz I/162).
Ketika seseorang mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen berarti dia itu setuju dan ridha dengan syiar kekufuran yang mereka perbuat.
Dari penjelasan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan. Alasannya, ketika mengucapkan seperti ini berarti seseorang itu setuju dan ridha dengan syiar kekufuran yang mereka perbuat. Meskipun mungkin seseorang tidak ridha dengan kekufuran itu sendiri, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk ridha terhadap syiar kekufuran atau memberi ucapan selamat pada syiar kekafiran lainnya karena Allah Ta’ala sendiri tidaklah meridhoi hal tersebut. Allah Ta’ala berfirman:
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar [39]: 7).
Jadi seorang muslim haram hukumnya mengucapkan selamat Natal kepada orang Nasrani apapun alasannya, karena hari raya tersebut di dalamnya terdapat kekufuran dan kesyirikan yang setiap musllim harus berlepas diri darinya,
Jadi seorang muslim haram hukumnya mengucapkan selamat Natal kepada orang Nasrani apapun alasannya, karena hari raya tersebut di dalamnya terdapat kekufuran dan kesyirikan yang setiap musllim harus berlepas diri darinya, bukan malah menyetujuinya dengan mengucapkan selamat atas hari raya tersebut.

Senin, 28 November 2011

SEPUTAR BULAN MUHARRAM

Alhamdulillah, puja dan puji bagi Allah Ta’ala. Shalawat dan salam semoga terlimpah untuk Rasul-Nya, Nabi Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.
Pada dasarnya memperbanyak puasa pada bulan Muharram sangat-sangat dianjurkan, khususnya pada tanggal 10-nya yang dinamakan dengan hari ‘Asyura. Juga dianjurkan untuk berpuasa tenggal 9-nya, yang disebut sebagai hari Tasu’a. Tujuannya, untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani -yang sebagiannya- mereka berpuasa pada hari kesepuluhnya (‘Asyura) saja.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
"Puasa yang paling utama sesudah puasa Ramadlan adalah puasa pada Syahrullah (bulan Allah) Muharram. Sedangkan shalat malam merupakan shalat yang paling utama sesudah shalat fardlu." (HR. Muslim, no. 1982 dari Abu Hurairah)
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
"Puasa hari 'Asyura, sungguh aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun yang telah lalu." (HR. Muslim no. 1975)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata, “Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa padanya, mereka menyampaikan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani.’ Lalu beliau shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau begitu, pada tahun depan insya Allah kita berpuasa pada hari kesembilan’. Dan belum tiba tahun yang akan datang, namun Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sudah wafat.” (HR. Muslim, no. 1916)
Berkata Imam al-Syafi’i dan para sahabatnya, Ahmad, Ishaq dan selainnya, “Disunnahkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh secara  keseluruhan, karena Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah berpuasa pada hari ke sepuluh dan berniat puasa pada hari kesembilan.”
Puasa Tanggal 11 Muharram
Sebagian ulama ada yang berpendapat disunnahkan berpuasa pada tanggal 11 Muharram, di samping tanggal 9 dan 10 Muharram. Mereka berargumen dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
Berpuasalah pada hari ‘Asyura dan selisihal kaum Yahudi dengan berpuasa satu hari sebelumnya dan satu hari sesudahnya.” (HR. Ahmad no. 2418, Al-Humaidi dalam musnadnya no. 485, dan Ibnu Huzaimah dalam Shahihnya no. 2095)
Jika melandaskan puasa tanggal 11 Muharram dengan dalil ini , maka dalil tersebut tidak bisa dijadikan landasan dalil karena status hadits terebut yang dhaif sekali. Namun, jika niat dari berpuasa tanggal 11 adalah untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram atau untuk menggenapkan puasa tiga hari setiap bulan, maka tidak mengapa. Bahkan, dia telah melaksanakan sunnah dan –Insya Allah- terhitung sebagai shiyam dahr.
Dari Abdullah bin 'Amru bin Al-'Ash, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Puasalah tiga hari dari setiap bulan. Sesungguhnya amal kebajikan itu ganjarannya sepuluh kali lipat, seolah ia seperti berpuasa sepanjang tahun." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan al-Nasai)
Memang disunnahkan pelaksanakannya pada Ayyamul Bidh (hari-hari putih), yaitu tanggal 13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah. Berdasarkan riwayat Abi Dzarr, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنْ الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
"Wahai Abu Dzarr, jika engkau ingin berpuasa tiga hari dari salah satu bulan, maka berpuasalah pada hari ketiga belas, empat belas, dan lima belas." (HR. Al-Tirmidzi)
Dari Jabir bin Abdillah, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda;
صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ صِيَامُ الدَّهْرِ وَأَيَّامُ الْبِيضِ صَبِيحَةَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
"Puasa tiga hari setiap bulan adalah puasa dahr (puasa setahun). Dan puasa ayyamul bidh (hari-hari putih) adalah hari ketiga belas, empat belas, dan lima belas." (HR. Al-Nasai dan dishahihkan Syaikh al-Albani)
Dan jika tidak melaksanakan shaum itu pada Ayyamul Bidh, tidak mengapa melaksanakannya pada awal bulan atau akhir bulan. Dari Mu'adzah ad 'Adawiyah, sesungguhnya ia pernah bertanya kepada 'Aisyah radliyallah 'anha: "Apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa melaksanakan shaum selama tiga hari setiap bulannya?" ‘Aisyah menjawab: "Ya". Ia pun bertanya lagi: "Hari-hari apa saja yang biasanya beliau melaksanakan shaum?" Aisyah pun menjawab: "Beliau shallallahu 'alaihi wasallam tidak terlalu memperhatikan hari keberapa dari setiap bulannya beliau melaksanakan shaum." (HR. Muslim)
Dalam Majmu' Fatawa wa Rasail, Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin berkata, "Seorang boleh berpuasa pada awal bulan, pertengahannya, ataupun di akhirnya secara berurutan atau terpisah-pisah. Tetapi yang paling afdhal (utama) dilaksanakan  pada Ayyamul Bidh, yaitu tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radliyallah 'anha, "Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa tiga hari setiap bulan. Beliau tidak terlalu peduli apakah berpuasa di awal atau di akhir bulan." (HR. Muslim)
Fatwa Syaikh Utaimin Tentang Anjuran Puasa Tanggal 9, 10 dan 11 Muharram
Syaikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: "Dalam selebaran yang dibagikan secara gratis, memuat penjelasan keutamaan puasa bulan Muharram dan 'Asyura (10 Muharram,-red). Berikut ini teks selebaran itu, kami memohon penjelasan apakah riwayatnya shahih.
Dari Ibnu Abbas radliyallah 'anhuma, "Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari 'Asyura dan menyuruh (para sahabat) untuk berpuasa di hari itu." (Muttafaq 'Alaih)
Masih dari Ibu 'Abbas, dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
"Jika tahun depan aku masih hidup, pasti aku kan berpuasa juga pada hari kesembilannya." (HR. Muslim)
Dari Abu Qatadah radliyallah 'anhu, Suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa hari 'Asyura. Beliau menjawab, "Akan menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu." (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
"Puasa yang paling utama sesudah Ramadlan adalah pada syahrullah (bulan Allah) Muharram. Dan shalat yang paling utama sesudah shalat lima waktu adalah shalat malam." (HR. Muslim)
Saudaraku umat Islam, berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh atau tanggal sepuluh dan sebelas dari Muharram agar mendapat pahala yang banyak, Insya Allah. Jika engkau bisa berpuasa seluruhnya (tanggal 9, 10, dan 11) itu lebih sempurna, maka engkau mendapat pahala puasa tiga hari setiap bulan. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah memberitakan bahwa puasa tiga hari setiap bulan menyerupai Shiyam Dahr (puasa setahun). Semoga Allah memberi taufiq kepada saya dan Anda untuk melaksanakan kebaikan di dalamnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin menjawab; Apa yang disebutkan tentang keutamaan puasa bulan Muharram dan 'Asyura dalam selebaran ini adalah shahih. (Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Majmu' Fatawa wa Rasail, jilid 20, Kitab Ash-Shiyam)
Penutup
Berpuasa pada tanggal 11 Muharram pada dasarnya tidak mengapa kalau diniatkan untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram atau untuk melaksanakan puasa tiga hari setiap bulan yang terhitung sebagai shiyam dahr. Namun jika diniatkan untuk melaksanakan hadits Ibnu Abbas dalam musnad Ahmad diatas untuk menyelisihi orang Yahudi maka tidak dibenarkan. Karena hadits tersebut sangat lemah, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai landasan argumen. Wallahu Ta’ala a’lam.

Keutamaan Puasa di Bulan Muharram

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (bulan) Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib (lima waktu) adalah shalat malam.“[1].

Hadits yang mulia ini menunjukkan dianjurkannya berpuasa pada bulan Muharram, bahkan puasa di bulan ini lebih utama dibandingkan bulan-bulan lainnya, setelah bulan Ramadhan[2].

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:
- Puasa yang paling utama dilakukan pada bulan Muharram adalah puasa ‘Aasyuura’ (puasa pada tanggal 10 Muharram), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dan memerintahkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk melakukannya[3], dan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang keutamaannya beliau bersabda,
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
Puasa ini menggugurkan (dosa-dosa) di tahun yang lalu“[4].
- Lebih utama lagi jika puasa tanggal 10 Muharram digandengankan dengan puasa tanggal 9 Muharram, dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nashrani, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disampaikan kepada beliau bahwa tanggal 10 Muharram adalah hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka beliau bersabda,
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
Kalau aku masih hidup tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram (bersama 10 Muharram).” [5]
- Adapun hadits,
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً
Berpuasalah pada hari ‘Aasyuura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“[6], maka hadits ini lemah sanadnya dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dianjurkannya berpuasa pada tanggal 11 Muharram[7].
- Sebagian ulama ada yang berpendapat di-makruh-kannya (tidak disukainya) berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, karena menyerupai orang-orang Yahudi, tapi ulama lain membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna jika digandengkan dengan puasa sehari sebelumnya[8].
- Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan puasa tanggal 10 Muharram adalah karena pada hari itulah Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa álaihis salam dan umatnya, serta menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya, maka Nabi  Musa ‘alaihis salam pun berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada-Nya, dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu karena alasan ini, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ
Kita lebih berhak (untuk mengikuti) Nabi Musa ‘alaihis salam daripada mereka“[9]. Kemudian untuk menyelisihi perbuatan orang-orang Yahudi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram[10].
- Hadits ini juga menunjukkan bahwa shalat malam adalah shalat yang paling besar keutamaannya setelah shalat wajib yang lima waktu[11].
***
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim Al Buthoni, M.A.
Artikel www.muslim.or.id

[1] HSR Muslim (no. 1163).
[2] Lihat keterangan Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam Syarhu Riyadhis Shalihin (3/341).
[3] Dalam HSR al-Bukhari (no. 1900) dan Muslim (1130).
[4] HSR Muslim (no. 1162).
[5] HSR Muslim (no. 1134).
[6] HR Ahmad (1/241), al-Baihaqi (no. 8189) dll, dalam sanadnya ada perawi yang bernama Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, dan dia  sangat buruk hafalannya (lihat Taqriibut Tahdziib hal. 493). Oleh karena itu syaikh al-Albani menyatakan hadits ini lemah dalam Dha’iful Jaami’ (no. 3506).
[7] Lihat kitab Bahjatun Nazhirin (2/385).
[8] Lihat keterangan Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam as-Syarhul Mumti’ (3/101-102).
[9] Semua ini disebutkan dalam HSR al-Bukhari (3216) dan Muslim (1130).
[10] Lihat keterangan syaikh Muhammad al-Utsaimin dalam Syarhu Riyadhis Shalihin (3/412).
[11] Lihat kitab Bahjatun Nazhirin (2/329).

Kamis, 22 September 2011

Menjalani Operasi Pencabutan Pen


        Rabu 21 September 2011, Santri kami yang bernama Ridwan akan melakukan operasi pengambilan pen di RS Karima Utama (RSKU) Kartasura. Dengan diantar oleh Ust Fajar, Ust Endar, Ust Rudi, Ust Arif, dan Ibunya berangkat ke RSKU pukul 13.00 wib menaiki mobil Toyota Avanza Hitam. Pen yang akan dicabut ini berada di siku tangan sebelah kiri. Berawal dari jatuhnya Ridwan di SDIT Arrisalah pada bulan Februari 2011 lalu, dan operasi pemasangan pen juga dilakukan di RSKU.
        Sesampai di RSKU, kami mendaftarkan Ridwan ke bagian pendaftaran pasien. Setelah itu langsung menuju ke ruang UGD utuk mendapatkan pelayanan. Setelah dicek data-data dan diukur berat badan Ridwan, kami disuruh menuju ke ruang Rontgen. Kami menunggu hampir 1 jam untuk tiba giliran kami. Akhirnya setelah 1 jam kami menunggu, tiba saatnya tiba gilaran kami.
        Setelah rontgen, kami kembali lagi ke ruang UGD untuk dilakukan pemasangan infus. Dari sinilah perawat dibikin sibuk atas ulah santri kami. Pertama, Ridwan tidak mau berganti baju operasi. Akhirnya Ust Fajar dan beberapa perawat berusaha membujuk agar Ridwan mau mengganti bajunya. Alhasil, Ridwan mau melepas bajuya dan berganti baju dengan pakaian operasi. kesibukan belum berhenti sampai disini. Ridwan mulai ngambek lagi dan tidak mau diinfus. Malah perawat yang menangani Ridwan dipukul sekeras-kerasnya oleh Ridwan. Ust Fajar meras kasihan melihatnya, sehigga berusaha untuk merayu Ridwan tp tidak berhasil. Perawat tersebut juga mencoba merayu tp dengan sedikit nada ancaman, "kalo masih mukul-mukul nanti saya suntik pake suntikan yang lebih besar lho"katanya. Alhasil infus pun bisa terpasang ditangan Ridwan.
        Pukul 16.00 wib, Ridwan memasuki ruang operasi. Ditengah operasi berjalan, datanglah Ust Haryoko ke RSKU berniat untuk menggantikan ust lainya menunggu Ridwan. Setelah sekitar 1 jam kami menunggu, operasi pun telah selesai. Dari sini ada kelucuan yang terjadi. Ridwan mengigau, berteriak-teriak dibawah kesadarannya karena pengaruh obat bius. "Dokter....jangan bunuh aku.....Dokter.....jangan bunuh aku.....". Tidak hanya ini saja, Ridwan juga berteriak " Perawat.....ana mita maaf.....karena ana sudah merepotkan antum".
        Setelah 2jam dari operasi, akhirnya Ridwan sudah benar-benar sadar. Kemudian Ridwan disuapi dengan bubur oleh ibunya, sehingga kekuatan tubuhnya kembali normal, dikarenakan sebelum operasi tadi Ridwan harus berpuasa dulu selama 6 jam. Tiba pukul 22.00 wib, kami pulang kerumah meninggalkan RSKU. "Selamat tinggal RSKU", Kata Ridwan sasmbil melambaikan tangannya.

Menjadi Muslim yang Seharusnya

 “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS al-Maidah 3)
Sa’ad bin Abi Waqash adalah orang yang sangat berbakti kepada ibunya. Namun tatkala beliau masuk Islam, ibunya marah dan berkata, “Wahai Sa’ad, agama apa yang kamu anut ini? Kamu harus keluar dari Islam, atau kalau tidak, maka aku tidak akan makan, tidak akan minum hingga mati. Lalu orang-orang pun akan mencelamu dan memanggilmu dengan kalimat, ”Wahai anak yang telah membunuh ibunya!” Dengan santun beliau berkata, ”Jangan lakukan itu wahai Ibunda, saya tidak akan meninggalkan Islam apapun yang terjadi.” Hari-hari berlalu, sementara sang ibu benar-benar mogok dari makan dan minum. Hingga kemudian Saad bin Abi Waqash memberanikan diri berkata kepada sang ibu, “Ketahuilah wahai Ibunda, seandainya ibu memiliki seratus nyawa, lalu satu persatu nyawa itu keluar dari jasad ibu, maka sekali-kali saya tidak akan meninggalkan agama ini,maka terserah ibu ingin makan ataukah tidak!” (Siyaru a’lam an-Nubala’)
Sahabat yang lain, Abdullah bin Hudzafah bahkan tak mundur dari Islam saat diancam hendak direbus hidup-hidup oleh Heraklius. Tawaran masuk Nasarni ditolaknya mentah-mentah, meski diiming-imingi hadiah separuh kerajaan Romawi. Baginya, nilai Islam dalam sekejap mata lebih berharga dari seluruh kerajaan Romawi.
Adapula yang rela mengorbankan nyawanya demi mempertahankan Islamnya seperti Yasir dan istrinya; Sumayyah.
Kekuatan apakah yang menjadikan mereka sanggup bertahan dengan ragam siksaan yang begitu berat? Pertimbangan manakah yang mereka gunakan hingga mereka rela mengambil resiko harta, tenaga bahkan nyawa? Tidak ada jawaban lain kecuali karena keimanan mereka terhadap apa yang dibawa oleh Muhammad saw, keyakinan bahwa Islam menjamin kebahagiaan bagi mereka, bukan sekedar di dunia yang fana, namun juga di akhirat yang abadi. Mereka betul-betul merasakan betapa indahnya hidup dalam Islam, dan betapa agungnya rahmat Islam bagi mereka dan bahkan bagi alam semesta. Tak ada anugerah yang lebih istimewa darinya. Sehingga mereka tidak mau melepaskan secuilpun dari syariat demi tawaran apapun yang memikat. Tak sudi menanggalkan keislamannya, meski nyawa harus keluar dari jasad. Mereka benar-benar merasakan firman Allah,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS al-Maidah 3)
Namun, hari ini paradigma telah berubah. Seiring dengan minimnya pemahaman, tipisnya keimanan, Islam tak lagi dianggap sebagai hal yang luar biasa. Seakan Islam disandangnya secara kebetulan, bukan karena keinginan atau kebutuhan. Yang karenanya pula,  tak ada beban bagi mereka untuk melepas sebagian atau bahkan keseluruhan, tak ada rasa bersalah jika sesekali syariat disandang, dan di kali yang lain ditendang.
Fenomena ini terus berkembang, seiring dengan mendominasinya hawa nafsu, ditambah pula dengan gencarnya upaya setan jin dan manusia untuk mengaburkan tapal batas antara iman dan kekafiran. Hingga, garis pembeda antara haq dan bathil makin tersamarkan. Dalam persepsi kebanyakan orang, tak ada lagi keistimewaan Islam di atas keyakinan yang lain. Tiada pula sisi kemuliaan mukmin dibanding orang kafir, atau ahli tauhid dibanding ahli syirik.
Perhatikanlah prolog sebuah film yang mengusung paham liberalisme dan toleransi yang kebablasan, yang mengajarkan bahwa semua agama sama benarnya. Dengan suara lembut terkesan keibuan bak penasihat yang bijak mengawali film itu, ”Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama, mencari satu hal yang sama, dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”
Dengan pandangan seperti ini, semua cara beragama dianggapnya sama benarnya. Semua jalan dipandangnya sama-sama mencapai surga, termasuk pilihan untuk tidak beragama. Semua sesembahanpun diyakini sebagai Tuhan yang sama,apakah berujud patung, batu maupun manusia. Inilah konsep netral agama yang tak mengenal istilah tauhid dan syirik, tak ada kata mukmin dan kafir, dan tak ada kamus hidayah maupun murtad. Padahal, semua istilah itu sangat krusial di dalam Islam.
Seakan surga disediakan untuk penganut apa saja, agama apapun, hanya berbeda kapling atau lokasinya. Lantas dimanakah keyakinan mereka terhadap firman Allah Ta’ala,
‘Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang rugi.’ (QS Ali Imran 85)
Bagaimana pula mereka mengira, bahwa Allah akan membalas dengan balasan yang sama atas cara dan jalan agama yang berbeda-beda, sedangkan Allah berfirman,
“Maka Apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau Adakah kamu (berbuat demikian). Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS al-Qalam 35-36)
Bahkan secara tegas, Nabi saw telah memberitaka kesudahan bagi siapapun yang tidak mengambil Islam sebagai agamanya,
لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ أُ مَّتِي يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ  ماَتَ وَ لاَ يُؤْمِنُ بِمَا جِئْتُ بِهِ إِلاَّ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tiada seorangpun dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dalam keadaan tdiak beriman dengan apa yang aku bawa dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim)
Seseorang yang merasa memiliki Islam, dan menjadikan Islam sebagai darah dan dagingnya, tentu tidak tertarik dengan ajakan pendangkalan terhadap nilai keagungan Islam. Tak hanya itu, keyakinannya atas kebenaran Islam dia wujudkan dengan mendalami ilmunya, mengamalkannya, mendakwahkannya, dan membelanya dari serangan yang dilancarkan oleh musuh-musuhnya, begitulah seharusnya menjadi seorang muslim. Billahit taufiq. (Abu Umar Abdillah)

Rabu, 14 September 2011

Motor lawan motor, satu orang Meninggal Dunia












Motor lawan motor, satu orang Meninggal Dunia




Boyolali (Darul Ihsan Online) – Kecelakaan maut terjadi di depan pabrik sosis, Desa Randusari, Kecamatan Teras, atau Jalan Raya Kartasura- Boyolali, Rabu (14/9/2011)sekitar pukul 08.30. Akibatnya, satu orang tewas (terbaring,red) dan dua lainnya mengalami luka-luka.
Arif Suduri (32) warga Desa Gonilan, Kartasura, Sukoharjo yang pernah bekerja di SDIT Arrisalah Kartasura tewas seketika dilokasi kejadian.  Sedangkan korban luka- luka adalah, Riyadi (18 ) warga Dukluh Candimulyo, Desa Kiringan, Kecamatan Boyolali Kota dan Abas Sungkar (29)  warga Desa Gonilan, Kecamatan Kartasura, yang merupakan salah satu pengurus Pondok Pesantren Yatim Darul Ihsan Solo. Kedua korban luka yang syok, langsung dibawa ke RSU Pandanarang untuk menjalani perawatan dokter.  Polisi juga mengamankan dua motor yang terlibat kecelakaan untuk penyelidikan lebih lanjut.
Kecelakaan bermula saat motor Suzuki Smash Titan AD-6283-WM yang dikendarai Riyadi (18) berbelok atau memotong jalan ke selatan untuk masuk ke pabrik sosis. Rencananya, Riyadi berniat memasukkan lamaran ke pabrik tersebut. Saat bersamaan, dari arah timur atau arah Kartasura, melaju kencang Yamaha Vega R nopol AD-6697-ZT yang dikendarai Abas Sungkar berboncengan dengan Arif Suduri.
Namun, jarak yang terlalu dekat, tabrakan pun tak bisa dihindari. Akibatnya, Arif terpental dari boncengan dan tewas di lokasi kejadian dengan luka parah di bagian kepala. Sedangkan Riyadi dan Abas terluka. Mengetahui kejadian itu, satpam pabrik sosis bersama warga langsung memberikan pertolongan. Korban luka langsung dibawa ke pinggir untuk mendapatkan perawatan seadanya. Kejadian itu juga langsung dilaporkan kepada polisi.
Begitu menerima laporan, sejumlah petugas Satlantas Polres Boyolali langsung mendatangi lokasi kejadian untuk melakukan mengevakuasi korban. Korban meninggal maupun korban luka dibawa ke rumah sakit. Polisi juga mengamankan dua sepeda motor yang terlibat kecelakaan. Polisi juga melakukan penyelidikan di lokasi kejadian.
“Kami masih melakukan penyelidikan terkait sebab kecelakaan,” ujar Kapolres Boyolali AKBP Romin Thaib melalui Kasat Lantas Iptu Sugino.
Jenazah langsung dibawa ke RSUD Pandan Arang untuk dilakukan visum, papar Kapolres Boyolali, AKBP Romin Thaib melalui Kasatlantas Boyolali, Iptu Sugino didampingi Kanit Laka, Ipda Arifin kepada wartawan, Rabu. Diduga, keduanya melaju dengan kecepatan tinggi. Sementara itu, dua pengendara lainnya, Riyadi dan Abas dalam kondisi luka ringan. Keduanya dalam keadaan syok berat. Salah seorang saksi, Sri, warga setempat menuturkan kecelakaan itu berlangsung cepat. Ia mengatakan di tikungan itu kerap terjadi kecelakaan.
Menurut warga setempat, sebenarnya pagi itu Arif Suduri mendapat panggilan ke SDIT Arrisalah untuk dijadikan karyawan lagi disana, tapi sungguh takdir tidak ada yang bisa menduga, akhirnya kematianlah yang berpihak kepada dia.


Segenap pengurus Yayasan Darul Ihsan Solo ikut berduka cita atas meninggalnya Arif Suduri. Semoga Allah menempatkan Almarhum ditempat yang layak di sisi-Nya. Amiin

Selasa, 30 Agustus 2011

Inilah Ucapan Selamat Hari Raya yang Benar Sesuai Sunnah

Segala puji bagi Allah salawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah keluarganya, para sahabatnya dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.Amma ba'du:ٍُ
Para pembaca yang dirahmati Allah Ta’alaa.
Pada hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha kita sering mendengar  sebagian kita mengucapkan selamat kepada sebagian lain dengan ucapan yang beraneka ragam. Maka apakah status hukumnya menurut syariat Islam ?
Berikut ini akan kami sampaikan informasi seputar ucapan selamat hari raya yang disarikan dari kitab (Tanwirul Ainain Bi Ahkamil Adzahi Wal Iedain) karangan Syeikh Abul Hasan Mushthafa bin Ismail As Sulaimani hafidzahullah dimana beliau berkata:
Ibnu At-Turkimani telah menyebutkan dalam kitabnya Al-Jauhar An-Naqiy Hasyiah Al-Baihaqi (3/320-321), beliau berkata : Aku berkata : dan dalam bab ini – yakni ucapan selamat hari raya – ada satu hadits yang bagus yang dilupakan Al-Baihaqi, yaitu haditsnya Muhammad bin Ziyad, berkata : ketika itu aku bersama Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu anhu dan sebagian sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang lain, lalu apabila mereka pulang sebagian mengucapkan kepada sebagian lainnya : (Taqabbalallahu minna waminkum) (semoga Allah menerima amal kami dan kalian), Imam Ahmad bin Hanbal berkata : sanadnya baik.
Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata dalam kitab Tamamul Minnah (356): dan beliau tidak menyebutkan siapa yang meriwayatkannya dan Imam Suyuthi telah menyandarkannya juga kepada Zahir dengan sanad yang bagus dari Muhammad bin Ziyad Al-Alhani – dan dia tsiqoh – berkata : lalu beliau menyebutkannya. Dan Zahir dia adalah Ibnu Thahir penulis kitab : (Tuhfatul Iedul Fithri) sebagaimana dikatakan Syeikh Al-Albani.
Dan Ibnu Qudamah telah menukil dalam kitab Al-Mughni (2/259) bahwa Imam Ahmad mengatakan sanadnya baik, Wallahu Alam mengenai derajat para perawi lain yang tidak disebutkan dalam atsar ini, namun aslinya perkataan Imam Ahmad diterima sampai kita menemukan yang menyelisihinya. Wallahu Alam.

Al-Ashbahani telah mengeluarkan riwayat dalam kitabnya At-Targhib Wa At-Tarhib (1/251) dari Shofwan bin Amru As-Saksasi berkata : Aku mendengar ketika diucapkan kepada Abdullah bin Busr, Abdur Rahman bin Aaidz, Jubair bin Nafir dan Khalid bin Mikdan pada hari- hari raya : (Taqabbalallahu minna waminkum), lalu mereka mengucapkannya kepada yang lain. Dan ini sanad yang cukup baik .

Dan disebutkan dalam kitab Fathul Bari (2/446) : diriwayatkan kepada kami dalam Al-Muhamiliyat dengan sanad yang baik dari Jubair bin Nufair berkata : dahulu para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam apabila mereka bertemu pada hari raya sebagian mengucapkan kepada sebagian lain : (Taqabbalawahu minna waminkum).
Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata : aku tidak menemukan pernyataan dari Ibnu Hajar yang membaguskan sanadnya dalam salah satu kitabnya – meskipun salah seorang penuntut ilmu telah menunjukkan tempatnya – berkata : namun aku menemukannya dari Al-Hafidz As-Suyuthi dalam risalahnya Wushul Al-Amani Fii Wujud At-Tahaani (109) dan dalam satu edisi di perpustakaanku (82) dan kitab Al-Hawi juz 1 dari Al-Hawi Lil Fatawa dan beliau telah menyandarkannya kepada Zahir bin Thahir dalam kitab Tuhfah Al-Iedul Fithri, dan Abu Ahmad Al-Furadzi, dan diriwayatkan Al-Muhamili dalam kitab Al-Iedain (2/ 129) dengan sanad para perawinya tsiqoh, para perawi At-Tahdzib selain Syeikhnya Al-Muhanna bin Yahya dia tsiqoh baik sebagaimana ucapan Ad-Daruquthni, dan biographinya disebutkan dalam Tarikh Baghdad (13/166 – 268), maka sanadnya shahih.
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya : apakah makruh hukumnya seseorang mengucapkan kepada saudaranya apabila pulang dari sholat Ied : Taqabbalallahu minna waminka, waghafarallahu lana walaka (Dan semoga Allah Mengampuni kami dan kalian), dan saudaranya menjawabnya seperti itu ? beliau berkata : tidak makruh. (Al-Muntaqa 1/322).
Dalam kitab Al-Hawi (1/82) Imam Suyuthi berkata : Ibnu Hibban telah mengeluarkan dalam kitab Al-Tsiqot dari Ali bin Tsabit berkata : Aku bertanya kepada Malik tentang ucapan orang-orang pada hari raya : Taqabbalallahu minna waminka, maka beliau berkata : hal itu masih terus berlaku seperti itu ditempat kami.
Dalam kitab Al-Mughni (2/259) beliau berkata : Ali bin Tsabit berkata : Aku bertanya kepada Malik bin Anas sejak tiga puluh lima tahun lalu, dan beliau berkata : diMadinah masih dikenal hal seperti ini.
Dan dalam kitab Masail Abu Dawud (61) beliau berkata : Aku mendengar Ahmad ditanya tentang kaum yang diucapkan kepada mereka pada hari raya: Taqabbalallahu minna waminkum, beliau berkata : aku berharap hal itu tidak mengapa.
Dalam kitab Al-Furu oleh Ibnul Muflih (2/150) berkata : tidak mengapa mengucapkan kepada yang lain: Taqabbalallahu minna waminkum, sebagian menukilkannya sebagai jawaban, dan beliau berkata : aku tidak memulainya, dan dari beliau : semuanya bagus, dan dari beliau : makruh, dan ditanya kepada beliau dalam riwayat Hanbal : apakah dia boleh memulainya ? beliau berkata : tidak, dan Ali bin Said menukilkan : alangkah baiknya itu kecuali jika dikuatirkan ucapan itu menjadi terkenal, dan dalam satu nasihat : sesungguhnya itu perbuatan sahabat, dan bahwa itu perkataan ulama.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya dalam Majmu Fatawa (24/253) : apakah ucapan selamat hari raya yang biasa diucapkan orang-orang : Ied Mubarak (hari raya yang diberkahi), dan semacamnya, apakah ada dasarnya dalam syariat atau tidak ? dan kalau ada dasarnya dalam syariat, maka apa yang diucapkan, berilah fatwa kepada kami ?
Maka beliau menjawab : adapun ucapan selamat hari raya dimana sebagian orang mengucapkan kepada sebagian lain apabila bertemu setelah sholat Ied : Taqabbalallahu minna waminkum, dan semoga Allah Menyampaikanmu tahun depan, dan semacam itu maka ini telah diriwayatkan oleh sebagian sahabat bahwa dahulu mereka melakukannya, dan dibolehkan sebagian Imam seperti Ahmad dan lainnya, tetapi Ahmad berkata : aku tidak mahu memulainya lebih dahulu, namun jika seseorang mengucapkannya kepadaku maka aku menjawabnya, karena itu jawaban ucapan selamat yang hukumnya wajib, adapun mengucapkan selamat terlebih dahulu bukan merupakan sunah yang diperintahkan, dan juga bukan termasuk yang dilarang, baangsiapa yang mengerjakannya maka dia memiliki panutannya, dan siapa yang meninggalkannya maka diapun memiliki panutannya. Wallahu Alam.
Kesimpulan:
Menurut pendapat saya (Syeikh Abul Hasan): bahwa ucapan selamat lebih dekat kepada adat dari pada ibadah, dan dalam perkara kebiasaan dasarnya adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya, tidak seperti ibadah dimana orang yang mengatakannya perlu membawakan dalil atas ucapannya, seperti diketahui bahwa adat kebiasaan berbeda dari satu zaman ke zaman lain, dari satu tempat ke tempat lain, kecuali perkara yang telah pasti dilakukan oleh sahabat atau sebagiannya , lebih patut untuk diikuti dari pada yang lain.
Syeikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Apa hukum ucapan selamat hari raya? Dan apakah ada ucapan tertentu?
Maka beliau menjawab: “ucapan selamat hari raya dibolehkan, dan tidak ada ucapan selamat yang khusus, tetapi apa yang biasa diucapkan oleh manusia dibolehkan selama bukan merupakan ucapan dosa”.
Dan beliau juga berkata:
“Ucapan selamat hari raya telah diamalkan sebagian sahabat radhiallahu anhum, seandainya hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh sahabat, namun hal tersebut sekarang telah menjadi perkara tradisi yang biasa dilakukan manusia, dimana sebagian mengucapkan selamat kepada yang lain dengan tibanya hari raya dan sempurnanya puasa dan qiyamul lail”.
Dan beliau rahimahullah juga ditanya: apa hukum berjabat tangan, berpelukan dan ucapan selamat hari raya setelah sholat Ied?
Beliau menjawab: perkara-perkara ini tidak mengapa dilakukan, karena manusia tidak menjadikannya bentuk ibadah dan taqarrub kepada Allah Azza wa Jalla, namun hanya menjadikannya sebagai tradisi, memuliakan dan menghormati, selama tradisi tersebut tidak ada larangannya secara syarie maka dasarnya adalah boleh”. Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin (16/208-210). Wallahu Alam Bishowab.[abu roidah/voa-islam.com]

Rabu, 24 Agustus 2011

LIBURAN LEBARAN

Darul Ihsan 24 Agustus 2011, merupakan hari yang menyenangkan bagi para santri Darul Ihsan. Mereka pagi-pagi (Ba'da Subuh) dengan rajinnya bekerja bakti untuk membersihka lingkungan Ponpes Darul Ihsan.
Acara kerja bakti yang awalnya dipimpin oleh Ust Endar, dmulai dari pembagian kelompok. Santrikelas satu dan kelas 2 mendapat jatah membersihkan kamar mandi. Santri kelas 3 da kelas 4 mendapat jatah membersihkan ruangan kelas dan kantor. Sedangkan santri kelas 5 dan kelas 6 mendapat jatah untuk membersihkan halaman Ponpes dan lingkungan sekitar.
Alhamdulillah, kerja bakti berjalan dengan lancar. Lingkungan menjadi terlihat bersih, Kelas dan kantor juga kelihatan rapi, kamar mandipun mejadi bersih dan harum. Setelah itu para santri diajak untuk merapikan kamar tidur dan pakainnya masig-masing. Sempat bahagia dalam hati saya, ketika melihat salah satu santri yang bernama Ilham bisa melipat baju dan menata tempat tidurnya.
Kenapa bisa dibilang bahagia???Karena bila melihat dari kebiasaan Ilham kami semua merasa harus melonggarkan hati kami alias SABAR. Karena Ilham itu merupakan santri kelas satu, yang anaknya super manja, jika dikasih nasihat selalu nangis, dan lain sebagainya.
Pasti pembaca bertanya-tanya, kenapa santri Darul Ihsan bisa serajin ini. Karena hari ini adalah hari penjemputadalam rangka Liburan Lebaran Hari Raya Idul Fitri. Mereka sudah tidak sabar untuk segera pulang, untuk segera bertemu dengan keluarganya, dan saudara-saudaranya yang beradadikampung halaman.
Semoga sampai dirumah masing-masing, puasa mereka tetap lancardan tidakbolong-bolong, Amiin
Taqoballahu minna waminkum.....Mohon Maaf Lahir dan Batin

Kamis, 28 Juli 2011

MEMOTONG RAMBUT DAN KUKU KETIKA JUNUB

Tentang memotong kuku dan rambut bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar), terdapat perbedaan pendapat :
  1. Tidak boleh
  2. Berkata Al – Ghazaly,

    ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من نفسه جزءاً وهو جنب؛ إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنباً، ويقال إن كل شعرة تطالبه بجنابتها

    Dan hendaklah dia tidak bercukur, memotong kukunya, mengasah pisau (untuk bercukur), menyebabkan darah mengalir atau memperlihatkan bagian tubuhnya ketika dia dalam keadaan junub (hadats besar), demikian ini karena semua bagian tubuh akan dikembalikan seperti semula pada hari kiamat nanti, dan akan kembali dalam keadaan hadats besar. Dikatakan, setiap rambut akan menuntut atas janabatnya. Apa yang disebutkan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin tersebut bagi manjadi dasar haramnya memotong rambut dan kuku bagi orang junub dan wanita yang sedang haidh (hadats besar). Berdasarkan pendapat tersebut sebagian maka wanita yang haidh ataupun orang junub biasanya menyimpan rambut atau kuku  yang terpotong untuk kemudian pada saat mandi janabah nanti ikut dibersihkan.
  3. Boleh
  4. Tidak ada dalil baik dalam Kitabullah maupun Hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang secara sharih (tegas) tentang tidak bolehnya wanita memotong kuku dan rambut saat haidh. Dalil yang ada adalah pendapat para ulama, dengan mengaitkan kewajiban membasahi seluruh tubuh dengan air saat mandi janabah. Pendapat Imam Ghazaly yang melarang memotong rambut dan kuku bagi orang junub dan wanita yang sedang haidh adalah pendapat yang tidak berdasarkan kepada nash-nash yang shahih baik itu dari Al Qur’an,  Hadits yang shahih ataupun dari Ijma kaum muslimin. Pendapat Al – Ghazaly tersebut juga bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Al – Bukhary dalam Fathul Bary :

    قال عطاء يحتجم الجنب ، ويقلم أظافره ، ويحلق رأسه ، وإن لم يتوضأ

    Berkata `Atha’: “Orang junub itu boleh berbekam, memotong kuku dan memangkas rambut walau tanpa wudhu lebih dahulu.” Sayyid Sabiq dalam Fiqhus-Sunnah menyatakan :

    يجوز للجنب والحائض إزالة الشعر ، وقص الظفر والخروج إلى السوق وغيره من غير كراهية

    “Diperbolehkannya bagi orang yang junub dan haidl untuk menghilangkan/ memotong rambut, memotong kuku, pergi ke pasar, dan selainnya tanpa ada sisi kemakruhan”.
Sedangkan Hadits Nabi

عن عَلِيٍّ رَضِيَ اَللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَنْ تَرَكَ مَوْضِعَ شَعْرَةٍ مِنْ جَنَابَةٍ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَعَلَ اللهُ بِهِ كَذَا وَ كَذَا مِنَ النَّارِ (رَوَاهُ اَحْمَدُ وَ اَبُو دَاوُدَ

Ali Karramallahu Wajhahu berkata : “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barang siapa meninggalkan satu tempat dari rambutnya hingga tidak terkena air ketika mandi dari janabah, Allah akan memberinya siksaan sedemikian rupa dalam neraka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Hadits tersebut adalah hadits tentang kesempurnaan dalam melaksanaan mandi karena hadats besar dan tidak berkait dengan hukum memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar)
Tanpa merendahkan pendapat yang menetapkan hukum memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar), tentunya wajib bagi setiap muslim untuk bertahkim kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan kembali kepada dua pedoman tersebut dalam menyelesaikan perbedaan.
Apa yang disebutkan oleh al – Bukhary adalah dalil yang kuat untuk menetapkan bahwa memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar) adalah boleh. Sedangkan perkataan Al – Ghazaly tidak dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan perbuatan memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar), karena perkataan itu adalah perkataan berdasarkan pendapat yang tidak berdasar kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

==========================================================================
Keterangan yang tidak memperbolehkan memotong kuku dan rambut pada saat haid bagi wanita atau juga umumnya bagi laki-laki dalam keadaan junub dapat kita temukan dalam  kitab Ghiza al-albab, Fathul Qarib, Ihya Ulumiddin, Syarh al-Iqna li Matn Abi Syuja’.
Dalam Ihya Ulumiddin sebagaimana dikutip dalam Mughni al-Muhtaj 1/72 dikatakan : Tidak semestinya memotong (rambut) atau menggunting kuku atau memotong ari-ari, atau mengeluarkan darah atau memotong sesuatu bagian tubuh dalam keadaan junub, mengingat seluruh anggota tubuh akan dikembalikan kepada tubuh seseorang. Sehingga (jika hal itu dilakukan) maka bagian yang terpotong tersebut kembali dalam keadaan junub. Dikatakan: setiap rambut dimintai pertanggungjawaban karena janabahnya.
Sedangkan khatib assyarbini mengatakan :  “setiap bulu (yang dicukurnya ketika berjunub itu) akan menuntut dari tuannya dengan sebab junub yang ada padanya.(Al-Iqna’,1/91).
“Janganlah sesiapa memotong kukunya dan menggunting rambut kecuali ketika ia suci” (Riwayat al-Ismaili dari Saidina ‘Ali r.a.)
Bagaimana dengan ulama yang lain ?
Sebaliknya jumhur ulama membolehkan memotong anggota tubuh ketika haidh maupun junub. keterangan  ini kita temukan dari penjelasan jumhur ulama kalangan maliki, hanafi, hanbali dan bahkan jumhur ulama Syafi’i. berikut diantaranya :
Imam ‘Atha’ (seorang Tabi’in terkenal) menyatakan ; “Tidak ada larangan orang yang junub untuk berbekam, memotong kuku dan mencukur rambut sekalipun tanpa mengambil wudhuk terlebih dahulu.” (Shahih al-Bukhari 1/496)
Imam Ahmad (pendiri mazhab Hanbali) tatkala ditanya berkenaan mengenai hukum orang yang junub sedangkan ia berbekam), mencukur rambut, memotong kuku dan mewarnai rambut atau janggutnya, ia menjawab; “Tidak mengapa.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan masalah ini dalam Majmu’ Fatawa, intinya: setahu beliau tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan makruhnya memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub, bahkan terdapat hadis shahih riwayat Bukhari-Muslim yang menegaskan bahwa (tubuh) seorang mukmin itu tidak najis. Dengan tambahan riwayat dari Shahih al-Hakim: ”baik dalam keadan hidup ataupun mati”. Demikian pula adanya hadis tentang perintah bagi yang haid untuk menyisir rambut pada waktu mandi, padahal sisiran bisa menyebabkan rontoknya rambut.
Syaikh Wahbah az-Zuhaili (ulama kontemporer) Dalam bukunya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, menulis, “Tidaklah dibenci dalam pandangan mazhab Hanbali bagi seorang yang junub, atau dalam keadaan haid, atau nifas, menggunting rambutnya, kukunya, dan tidak juga ‘menyemir’ rambutnya sebelum mandi.”
Ulama –ulama syafi’iyah sendiri kebanyakan tidak sepakat dengan pendapat Imam Ghazali tersebut, diantaranya  yang bisa kita sebutkan adalah Syekh Khatib As-Syarbini, dalam kitab I’anat Thalibin 1/96 beliau berkata : “Tentang akan kembalinya (anggota tubuh) semisal darah, pendapat ini perlu diselidiki lagi. Demikian pula (bagian tubuh) yang lainnya. Karena (bagian tubuh) yang kembali (dibangkitkan bersama dengan pemilik bagian tubuh itu) adalah bagian-bagian tubuh yang pemilik tubuh itu mati bersamanya (ada pada saat kematian orang tersebut).”
Dalam kitab Syafi’i yang lain yaitu Niyatul Muhtaj Syarh al-Minhaj disebutkan: “makna ‘dikembalikan diakhirat (dari anggota tubuh) bukanlah bagian anggota tubuh yang diperintahkan untuk dipotong, tetapi adalah bagian-bagian tubuh yang asli (seperti tangan, kaki, mata dll.)
Lebih jelas lagi dalam kitab dalam Madzab Syafi’i yang lain yaitu Hasyiah al-Bujairimi ’ala al-Khotib, dalam kitab tersebut dikatakan bahwa pendapat Imam al-Ghazali tersebut perlu dikaji lagi sebab bagian tubuh yang kembali adalah yang ada disaat kematian pemiliknya dan bagian badan asli yang pernah terpotong, bukan seluruh kuku dan rambut yang pernah dipotong selama hidupnya. (Hasyiah al-Bujairimi ’ala al-Khotib 2/335)
Bantahan dari kalangan syafi’iyah juga dikemukakan oleh al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani, Imam Ibnu Rajab dalam sarah mereka pada shahih Bukhari,  Menurut mereka; tidak ada satupun dalil dari Nabi Saw yang mencegah orang yang sedang junub atau wanita yang sedang haid atau nifas dari melakukan perkara-perkara yang disebut tadi. Adapun hadis riwayat ali di atas, ia adalah hadits munkar bahkan  maudhu’ (palsu). (catatan penulis : hadis tersebut tidak kami temukan dalam al-kutub at-tis’ah bahkan kitab-kitab hadis selain itu di lebih dari 200 kitab hadis dalam maktabah syamilah)
Fatwa ulama al-Azhar, Syaikh ’Atiyah Shaqr)  menyebutkan bahwa pernyataan yang melarang memotong kuku dan rambut ketika dalam keadaan junub tidak berdasarkan dalil. Pendapat yang menyatakan makruh adalah pendapat yang la ashla lahu (tidak ada dasarnya). (al-Fatawa; Min Ahsanil-Kalam 1/438)
Demikian juga dalam kitab fikih yang muktamad, kalau kita telusuri hal-hal yang dilarang dikerjakan oleh orang yang sedang dalam keadaan junub, tak satu pun yang menyebutkan tidak boleh memotong kuku dan rambut.
Kesimpulan :
1.     Pendapat yang mu’tamad (bisa dipegang) adalah yang menyatakan bolehnya memotong anggota tubuh seperti kuku ketika junub. Adapun larangan memotong anggota tubuh ketika junub yang tertulis dalam beberapa kitab mazhab Syafi’i bersumber dari pendapat Imam al-Ghazali. Sedangkan Imam al-Ghazali sendiri tidak menyatakan larangan itu dengan kalimat yang tegas yang menunjukkan hukum haram. Beliau menggunakan lafadz: “la yanbaghi” yang artinya “tidak semestinya, tidak seharusnya atau tidak seyogyanya…”
2.     Tidak ada satupun dalil dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang shahih (kuat) dan sarih (jelas) yang menjadi dasar hukum larangan bagi orang yang memotong kuku dan rambut bagi orang yang sedang junub khususnya wanita yang haid.
3.     Jumhur ulama mazhab bahkan dari kalangan Syafi’iyah membantah dan mengkoreksi pendapat Imam al-Ghazali dalam masalah ini.
4.     Alasan Imam al-Ghazali bahwa bagian tubuh yang terpotong tersebut akan dikembalikan pada pemilik tubuh tersebut, maka  argument ini tidaklah tepat, sebab jumhur ulama menyatakan bahwa bagian tubuh yang dikembalikan adalah : (a) bagian-bagian tubuh lengkap yang ada pada waktu kematian pemiliknya, dan (b) bagian-bagian tubuh yang asli (al-ajza’ al-ashliyah) yang pernah terpotong sewaktu pemiliknya masih hidup seperti kaki dan/atau  tangan yang terpotong). Bagian-bagian itulah yang akan dikembalikan secara sempurna pada hari kiamat. Adapun kuku atau rambut yang disunnahkan untuk dipotong tidak termasuk bagian yang dikembalikan tersebut.

Wallahu A’lam bi as-Shawab