widgets

Kamis, 28 Juli 2011

MEMOTONG RAMBUT DAN KUKU KETIKA JUNUB

Tentang memotong kuku dan rambut bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar), terdapat perbedaan pendapat :
  1. Tidak boleh
  2. Berkata Al – Ghazaly,

    ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من نفسه جزءاً وهو جنب؛ إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنباً، ويقال إن كل شعرة تطالبه بجنابتها

    Dan hendaklah dia tidak bercukur, memotong kukunya, mengasah pisau (untuk bercukur), menyebabkan darah mengalir atau memperlihatkan bagian tubuhnya ketika dia dalam keadaan junub (hadats besar), demikian ini karena semua bagian tubuh akan dikembalikan seperti semula pada hari kiamat nanti, dan akan kembali dalam keadaan hadats besar. Dikatakan, setiap rambut akan menuntut atas janabatnya. Apa yang disebutkan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin tersebut bagi manjadi dasar haramnya memotong rambut dan kuku bagi orang junub dan wanita yang sedang haidh (hadats besar). Berdasarkan pendapat tersebut sebagian maka wanita yang haidh ataupun orang junub biasanya menyimpan rambut atau kuku  yang terpotong untuk kemudian pada saat mandi janabah nanti ikut dibersihkan.
  3. Boleh
  4. Tidak ada dalil baik dalam Kitabullah maupun Hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang secara sharih (tegas) tentang tidak bolehnya wanita memotong kuku dan rambut saat haidh. Dalil yang ada adalah pendapat para ulama, dengan mengaitkan kewajiban membasahi seluruh tubuh dengan air saat mandi janabah. Pendapat Imam Ghazaly yang melarang memotong rambut dan kuku bagi orang junub dan wanita yang sedang haidh adalah pendapat yang tidak berdasarkan kepada nash-nash yang shahih baik itu dari Al Qur’an,  Hadits yang shahih ataupun dari Ijma kaum muslimin. Pendapat Al – Ghazaly tersebut juga bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Al – Bukhary dalam Fathul Bary :

    قال عطاء يحتجم الجنب ، ويقلم أظافره ، ويحلق رأسه ، وإن لم يتوضأ

    Berkata `Atha’: “Orang junub itu boleh berbekam, memotong kuku dan memangkas rambut walau tanpa wudhu lebih dahulu.” Sayyid Sabiq dalam Fiqhus-Sunnah menyatakan :

    يجوز للجنب والحائض إزالة الشعر ، وقص الظفر والخروج إلى السوق وغيره من غير كراهية

    “Diperbolehkannya bagi orang yang junub dan haidl untuk menghilangkan/ memotong rambut, memotong kuku, pergi ke pasar, dan selainnya tanpa ada sisi kemakruhan”.
Sedangkan Hadits Nabi

عن عَلِيٍّ رَضِيَ اَللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَنْ تَرَكَ مَوْضِعَ شَعْرَةٍ مِنْ جَنَابَةٍ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَعَلَ اللهُ بِهِ كَذَا وَ كَذَا مِنَ النَّارِ (رَوَاهُ اَحْمَدُ وَ اَبُو دَاوُدَ

Ali Karramallahu Wajhahu berkata : “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barang siapa meninggalkan satu tempat dari rambutnya hingga tidak terkena air ketika mandi dari janabah, Allah akan memberinya siksaan sedemikian rupa dalam neraka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Hadits tersebut adalah hadits tentang kesempurnaan dalam melaksanaan mandi karena hadats besar dan tidak berkait dengan hukum memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar)
Tanpa merendahkan pendapat yang menetapkan hukum memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar), tentunya wajib bagi setiap muslim untuk bertahkim kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan kembali kepada dua pedoman tersebut dalam menyelesaikan perbedaan.
Apa yang disebutkan oleh al – Bukhary adalah dalil yang kuat untuk menetapkan bahwa memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar) adalah boleh. Sedangkan perkataan Al – Ghazaly tidak dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan perbuatan memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar), karena perkataan itu adalah perkataan berdasarkan pendapat yang tidak berdasar kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

==========================================================================
Keterangan yang tidak memperbolehkan memotong kuku dan rambut pada saat haid bagi wanita atau juga umumnya bagi laki-laki dalam keadaan junub dapat kita temukan dalam  kitab Ghiza al-albab, Fathul Qarib, Ihya Ulumiddin, Syarh al-Iqna li Matn Abi Syuja’.
Dalam Ihya Ulumiddin sebagaimana dikutip dalam Mughni al-Muhtaj 1/72 dikatakan : Tidak semestinya memotong (rambut) atau menggunting kuku atau memotong ari-ari, atau mengeluarkan darah atau memotong sesuatu bagian tubuh dalam keadaan junub, mengingat seluruh anggota tubuh akan dikembalikan kepada tubuh seseorang. Sehingga (jika hal itu dilakukan) maka bagian yang terpotong tersebut kembali dalam keadaan junub. Dikatakan: setiap rambut dimintai pertanggungjawaban karena janabahnya.
Sedangkan khatib assyarbini mengatakan :  “setiap bulu (yang dicukurnya ketika berjunub itu) akan menuntut dari tuannya dengan sebab junub yang ada padanya.(Al-Iqna’,1/91).
“Janganlah sesiapa memotong kukunya dan menggunting rambut kecuali ketika ia suci” (Riwayat al-Ismaili dari Saidina ‘Ali r.a.)
Bagaimana dengan ulama yang lain ?
Sebaliknya jumhur ulama membolehkan memotong anggota tubuh ketika haidh maupun junub. keterangan  ini kita temukan dari penjelasan jumhur ulama kalangan maliki, hanafi, hanbali dan bahkan jumhur ulama Syafi’i. berikut diantaranya :
Imam ‘Atha’ (seorang Tabi’in terkenal) menyatakan ; “Tidak ada larangan orang yang junub untuk berbekam, memotong kuku dan mencukur rambut sekalipun tanpa mengambil wudhuk terlebih dahulu.” (Shahih al-Bukhari 1/496)
Imam Ahmad (pendiri mazhab Hanbali) tatkala ditanya berkenaan mengenai hukum orang yang junub sedangkan ia berbekam), mencukur rambut, memotong kuku dan mewarnai rambut atau janggutnya, ia menjawab; “Tidak mengapa.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan masalah ini dalam Majmu’ Fatawa, intinya: setahu beliau tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan makruhnya memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub, bahkan terdapat hadis shahih riwayat Bukhari-Muslim yang menegaskan bahwa (tubuh) seorang mukmin itu tidak najis. Dengan tambahan riwayat dari Shahih al-Hakim: ”baik dalam keadan hidup ataupun mati”. Demikian pula adanya hadis tentang perintah bagi yang haid untuk menyisir rambut pada waktu mandi, padahal sisiran bisa menyebabkan rontoknya rambut.
Syaikh Wahbah az-Zuhaili (ulama kontemporer) Dalam bukunya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, menulis, “Tidaklah dibenci dalam pandangan mazhab Hanbali bagi seorang yang junub, atau dalam keadaan haid, atau nifas, menggunting rambutnya, kukunya, dan tidak juga ‘menyemir’ rambutnya sebelum mandi.”
Ulama –ulama syafi’iyah sendiri kebanyakan tidak sepakat dengan pendapat Imam Ghazali tersebut, diantaranya  yang bisa kita sebutkan adalah Syekh Khatib As-Syarbini, dalam kitab I’anat Thalibin 1/96 beliau berkata : “Tentang akan kembalinya (anggota tubuh) semisal darah, pendapat ini perlu diselidiki lagi. Demikian pula (bagian tubuh) yang lainnya. Karena (bagian tubuh) yang kembali (dibangkitkan bersama dengan pemilik bagian tubuh itu) adalah bagian-bagian tubuh yang pemilik tubuh itu mati bersamanya (ada pada saat kematian orang tersebut).”
Dalam kitab Syafi’i yang lain yaitu Niyatul Muhtaj Syarh al-Minhaj disebutkan: “makna ‘dikembalikan diakhirat (dari anggota tubuh) bukanlah bagian anggota tubuh yang diperintahkan untuk dipotong, tetapi adalah bagian-bagian tubuh yang asli (seperti tangan, kaki, mata dll.)
Lebih jelas lagi dalam kitab dalam Madzab Syafi’i yang lain yaitu Hasyiah al-Bujairimi ’ala al-Khotib, dalam kitab tersebut dikatakan bahwa pendapat Imam al-Ghazali tersebut perlu dikaji lagi sebab bagian tubuh yang kembali adalah yang ada disaat kematian pemiliknya dan bagian badan asli yang pernah terpotong, bukan seluruh kuku dan rambut yang pernah dipotong selama hidupnya. (Hasyiah al-Bujairimi ’ala al-Khotib 2/335)
Bantahan dari kalangan syafi’iyah juga dikemukakan oleh al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani, Imam Ibnu Rajab dalam sarah mereka pada shahih Bukhari,  Menurut mereka; tidak ada satupun dalil dari Nabi Saw yang mencegah orang yang sedang junub atau wanita yang sedang haid atau nifas dari melakukan perkara-perkara yang disebut tadi. Adapun hadis riwayat ali di atas, ia adalah hadits munkar bahkan  maudhu’ (palsu). (catatan penulis : hadis tersebut tidak kami temukan dalam al-kutub at-tis’ah bahkan kitab-kitab hadis selain itu di lebih dari 200 kitab hadis dalam maktabah syamilah)
Fatwa ulama al-Azhar, Syaikh ’Atiyah Shaqr)  menyebutkan bahwa pernyataan yang melarang memotong kuku dan rambut ketika dalam keadaan junub tidak berdasarkan dalil. Pendapat yang menyatakan makruh adalah pendapat yang la ashla lahu (tidak ada dasarnya). (al-Fatawa; Min Ahsanil-Kalam 1/438)
Demikian juga dalam kitab fikih yang muktamad, kalau kita telusuri hal-hal yang dilarang dikerjakan oleh orang yang sedang dalam keadaan junub, tak satu pun yang menyebutkan tidak boleh memotong kuku dan rambut.
Kesimpulan :
1.     Pendapat yang mu’tamad (bisa dipegang) adalah yang menyatakan bolehnya memotong anggota tubuh seperti kuku ketika junub. Adapun larangan memotong anggota tubuh ketika junub yang tertulis dalam beberapa kitab mazhab Syafi’i bersumber dari pendapat Imam al-Ghazali. Sedangkan Imam al-Ghazali sendiri tidak menyatakan larangan itu dengan kalimat yang tegas yang menunjukkan hukum haram. Beliau menggunakan lafadz: “la yanbaghi” yang artinya “tidak semestinya, tidak seharusnya atau tidak seyogyanya…”
2.     Tidak ada satupun dalil dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang shahih (kuat) dan sarih (jelas) yang menjadi dasar hukum larangan bagi orang yang memotong kuku dan rambut bagi orang yang sedang junub khususnya wanita yang haid.
3.     Jumhur ulama mazhab bahkan dari kalangan Syafi’iyah membantah dan mengkoreksi pendapat Imam al-Ghazali dalam masalah ini.
4.     Alasan Imam al-Ghazali bahwa bagian tubuh yang terpotong tersebut akan dikembalikan pada pemilik tubuh tersebut, maka  argument ini tidaklah tepat, sebab jumhur ulama menyatakan bahwa bagian tubuh yang dikembalikan adalah : (a) bagian-bagian tubuh lengkap yang ada pada waktu kematian pemiliknya, dan (b) bagian-bagian tubuh yang asli (al-ajza’ al-ashliyah) yang pernah terpotong sewaktu pemiliknya masih hidup seperti kaki dan/atau  tangan yang terpotong). Bagian-bagian itulah yang akan dikembalikan secara sempurna pada hari kiamat. Adapun kuku atau rambut yang disunnahkan untuk dipotong tidak termasuk bagian yang dikembalikan tersebut.

Wallahu A’lam bi as-Shawab

Selasa, 26 Juli 2011

Sikap Salafus Sholeh Dalam Menghadapi Bulan Ramadlan

Sungguh, merupakan hal yang telah diketahui tentang bagaimana keadaan Rasulullah yang mulia ‘alaihish shalatu wassalam dahulu, bahwasanya beliau telah melakukan persiapan untuk memasuki bulan ini (Ramadhan), beliau memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Dahulu beliau pernah berpuasa di bulan Sya’ban selama sebulan penuh dan pernah pula berpuasa kurang dari itu. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Kemudian (ketika memasuki bulan Ramadhan), beliau ‘alaihish shalatu wassalam berpuasa. Dan kesungguhan beliau (untuk beribadah) terus bertambah terkhusus ketika mulai memasuki sepuluh hari terakhir di bulan tersebut. Maka ketika mulai memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau mulai menyingsingkan lengan baju dan mengencangkan ikat pinggangnya, kemudian beliau beri’tikaf, demikian juga para istri beliau dan banyak para sahabat beliau ‘alaihish shalatu wassalam juga demikian. Mereka benar-benar melaksanakan amalan yang agung ini dengan kesungguhan.
Puasa yang baik, amalan yang shalih, dan suka berbuat kebaikan
Rasulullah ‘alaihish shalatu wassalam adalah seorang yang dermawan (suka memberikan kebaikan). Bahkan beliau adalah manusia yang paling dermawan. Apalagi ketika memasuki bulan Ramadhan, maka sifat kedermawanan beliau ‘alaihish shalatu wassalam semakin bertambah dan bahkan melebihi daripada angin yang bertiup. Terkhusus tatkala Malaikat Jibril ‘alaihish shalatu wassalam datang kepada beliau, sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah membaca Al-Qur’an di hadapan Malaikat Jibril di setiap bulan Ramadhan sebanyak satu kali. Dan ketika di tahun terakhir menjelang wafatnya, beliau membacakan Al-Qur’an di hadapan Malaikat Jibril sebanyak dua kali. Sebagaimana hal ini dijelaskan di dalam hadits ‘Aisyah dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma. Dan yang demikian itu merupakan isyarat akan dekatnya wafat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Para salaf dahulu sangat antusias dan memberikan perhatian yang lebih di dalam bulan yang agung ini, dengan melakukan amalan-amalan shalih seperti: membaca Al-Qur’an, memperbanyak dzikir, dan menahan diri dari perbuatan maksiat.
Karena hal itu merupakan konsekuensi dari ibadah puasa. Puasa itu adalah tidak sekedar menahan diri dari makan dan minum saja, namun juga harus mampu menahan diri dari segala perbuatan yang dapat mendatangkan murka Allah tabaraka wata’ala dari perbuatan-perbuatan maksiat dan yang selainnya. Kemudian disertai dengan melakukan amalan-amalan ketaatan kepada Allah ‘azza wajalla dengan mengikhlaskan niat hanya semata-mata karena Allah.
Para salaf ridhwanullahi ‘alaihim, sebagaimana diceritakan oleh Al-Imam Malik, dan beliau adalah orang yang mengetahui tentang keadaan umat, apabila telah datang bulan Ramadhan, mereka menghabiskan waktunya untuk puasa dan membaca Al-Qur’an, mereka memfokuskan diri untuk membaca Al-Qur’an pada bulan yang mulia ini kemudian merenungi dan memperhatikan makna-maknanya, mengambil berbagai nasehat yang ada di dalamnya dan menghindarkan diri dari berbagai larangannya, memahami perkara-perkara yang halal dan haram, memahami janji-janji dan ancaman Allah serta berbagai hal lain yang ada dalam Al-Qur’an. Dengan Al-Qur’an, mereka membersihkan jiwa dan dengannya pula akan menerangi hati. Al-Qur’an adalah kehidupan, cahaya, dan petunjuk, sebagaimana yang Allah tabaraka wata’ala sifatkan dalam firman-Nya:
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” [Asy-Syura: 52]
Kesimpulannya bahwa mereka -yaitu para as-salafush shaleh-, baca dan pelajarilah bagaimana kesungguhan mereka, kesabaran, dan keikhlasan mereka kepada Allah serta upaya yang mereka lakukan dengan sekuat tenaga untuk beribadah di bulan yang mulia ini dan juga di bulan yang lainnya.
Maksudnya adalah ini sebagai nasehat bagi kita bahwa kita tidak hanya ingat (ketaatan dan amal shalih) di bulan Ramadhan saja kemudian kita lupa dan meninggalkan amalan-amalan ketaatan di bulan-bulan yang lainnya!
Bahkan hendaknya kita terus menyambung ibadah kepada Allah, shalat malam, menghadapkan diri kita kepada Allah dan menjalankan berbagai ketaatan yang dengannya kita mendekatkan diri kepada Allah di bulan Ramadhan.
Bukan kemudian kita menjadi lupa. Sebagian manusia, mereka mengisi bulan Ramadhan tersebut dengan amalan-amalan ketaatan. Kemudian apabila bulan Ramadhan tersebut telah berlalu, maka ibadah mereka berkurang kemudian malas serta mulai melupakan amalan-amalan ketaatan. Bukan seperti ini yang kita inginkan.
Sehingga tidak diragukan lagi, bahwa hendaknya kita memberikan perhatian yang lebih banyak di bulan Ramadhan dibanding bulan-bulan yang lainnya. Akan tetapi dengan semakin bertambahnya tahun dan kehidupan ini, mengharuskan diri kita untuk selalu mengingat Allah ta’ala.
“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah dengan menyebut nama Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” [Al-Ahzab: 41-42].
Maka sebagai seorang mu’min, wajib baginya untuk selalu mengingat Allah tabaraka wata’ala, mentaati-Nya, bertakwa kepada-Nya, dan takut serta merasa diawasi oleh-Nya di setiap waktu dalam kehidupannya.
Aku memohon kepada Allah, agar Dia memberikan taufiq-Nya kepada kita dan kalian semua agar dimudahkan untuk melaksanakan shalat malam, puasa, dan hal-hal lain yang diwajibkan pada bulan Ramadhan yang mulia ini, serta bersemangat untuk meraih berbagai keutamaan yang ada di dalamnya. Demikian pula kita memohon kepada Allah, agar selalu memberikan taufiq-Nya kepada kita untuk bisa menunaikan amalan-amalan ketaatan kepada-Nya dan menjalankan segala yang diridhai-Nya. Sesungguhnya Rabb kami Maha Mendengar do’a yang dipanjatkan kepada-Nya.
Sumber:  Penjelasan lisan dari Asy-Syaikh Al-’Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah seperti disalin dalam http://sahab.net/forums/showthread.php?t=380538 Diambil dari kaset yang berjudul: Izalatul Ilbas ‘Ammasytabaha fi Adzhaninnas.(Abd.Karim)

Rabu, 20 Juli 2011

SANTRI DARUL IHSAN MELAKSANAKAN PERINTAH RASUL (KHITAN)

Pada liburan akhir semester kemarin, Yayasan Darul Ihsan Solo mengkhitankan 6 santri. Acara khitan ini mendapat dukungan dari beberapa pihak, seperti Hotel Sunan Solo, Danar Hadi, Kiky, dan pihak-pihak lain yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
Pelaksanaan khitan sungguh mengharukan. Mengingat santri kami yang masih kecil - kecil sudah berani menjalani perintah Rasulullah SAW yaitu perintah Khitan. Santri kami yang paling kecil bernama Nor Rizal yusuf yang baru menginjak kelas 3 SD. Sedangkan peserta yang mengikuti khitan adalah : Amin Choirudin, Rosyid Akbar Alfan, Azzam Hawari, Faldin Rahmat, Gegana Al Furon, dan Nor Rizal Yusuf.
Alhamdulillah, acara khitan berjalan lancar. Yang kami herankan, begitu para santri dikhitan, mereka langsung berlarian. seakan - akan tidak merasakan sakit sedikitpun. Kami hanya tersenyum bahagia melihat mereka telah selesai menjalani khitan, dan kami berharap semoga mereka cepet sembuh dan segera bisa kembali ke Pondo guna mengikuti pelajaran lagi. Amiin....

Inilah foto wajah - wajah santri yang ikut khitan dan didampingi oleh para ustadznya.....











Minggu, 10 Juli 2011

SANTRI BARU ANGKATAN KE II

Satu bulan kemarin Ponpes Darul Ihsan Solo telah melaksanakan Akhirussannah, dan meluluskan dua santri yaitu Hanifullah Burhani dan Ihwan Mulyono. Mereka sekarang melanjutkan pendidikan tingkat SLTP disalah satu pondok yang bernama Ponpes Baitussalam Semarang.
Pada bulan Juli ini, Ponpes darul Ihsan juga telah melaksanakan penerimaan santri baru. Berbagai respon dari masyarakat banyak kita terima. Mereka antusias sekali untuk mendaftarkan putra-putranya ke Ponpes Darul Ihsan. Hampir sekitar 50 anak yang ingin masuk di Ponpes Darul Ihsan.
Akan tetapi Pengurus Yayasan Darul Ihsan mempunyai kebijakan sendiri. Dengan berbagai tahap seleksi, akhirnya Darul Ihsan Solo meluluskan 14 Pedaftar, yang nantinya akan kita asuh dan kita bimbing serta kita didik menjadi Santri yang berakhlak mulia, Pintar, Cakap, dan Hafid (Insya Allah).
Berikut daftar nama santri baru :
 
No Nama Alamat Kelas
1 Tegar Firmansyah Plupuh, Sragen III
2 Ryan Umar Nugroho Pilang, Sragen V
3 Kholid Muhammad Asykarullah Sukoharjo V
4 Dzaky Afif Sukoharjo IV
5 Abdul Rosyid Karanganyar II
6 Muhammad Restu Sambayu Ngawi IV
7 Siddick Sunandamar Bekasi IV
8 Muhammad Arum Bekasi V
9 Muhammad Izaturrahman Bekasi VI
10 Rahmad Effendi Karanganyar II
11 Abid Syauqi Al Farikhi Kendal III
12 Alif Wahyu Ardian Kediri V
13 Ilham Karanganyar I
14 Habib Muhammad Fadli Nurul K Jogja I

Jumat, 01 Juli 2011

Keutamaan Berdzikir


 
بسم الله الرحمن الرحيم


Allah Ta’ala berfirman:
“Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu (dengan memberikan rahmat dan pengampunan). Dan bersyukurlah kepadaKu, serta jangan ingkar (pada nikmatKu)”. (Al-Baqarah, 2:152).

“Hai, orang-orang yang beriman, berdzikirlah yang banyak kepada Allah (dengan menyebut namaNya)”. (Al-Ahzaab, 33:42).

“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, maka Allah menyediakan untuk mereka pengampunan dan pahala yang agung”. (Al-Ahzaab, 33:35).

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut (pada siksaanNya), serta tidak mengeraskan suara, di pagi dan sore hari. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. (Al-A’raaf, 7:205).

Rasul Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
((مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِيْ لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ)).
Perumpamaan orang yang ingat akan Rabbnya dengan orang yang tidak ingat Rabbnya laksana orang yang hidup dengan orang yang mati. [1]

 ((أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيْكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِيْ دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ))؟ قَالُوْا بَلَى. قَالَ: ((ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى)).
“Maukah kamu, aku tunjukkan perbuatanmu yang terbaik, paling suci di sisi Rajamu (Allah), dan paling mengangkat derajatmu; lebih baik bagimu dari infaq emas atau perak, dan lebih baik bagimu daripada bertemu dengan musuhmu, lantas kamu memenggal lehernya atau mereka memenggal lehermu?” Para sahabat yang hadir berkata: “Mau (wahai Rasulullah)!” Beliau bersabda: “Dzikir kepada Allah Yang Maha Tinggi”.  [2]

Rasul Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: ((أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِيْ، فَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِيْ نَفْسِيْ، وَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً)).
Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai dengan persangkaan hambaKu kepadaKu, Aku bersamanya (dengan ilmu dan rahmat) bila dia ingat Aku.  Jika dia mengingatKu dalam dirinya, Aku mengingatnya dalam diriKu. Jika dia menyebut namaKu dalam suatu perkumpulan, Aku menyebutnya dalam perkumpulan yang lebih baik dari mereka. Bila dia mendekat kepadaKu sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepadaKu sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika dia datang kepadaKu dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat”. [3]

وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ شَرَائِعَ اْلإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَأَخْبِرْنِيْ بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ: ((لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ)).
Dari Abdullah bin Busr Radhiallahu’anhu, dia berkata: Bahwa ada seorang lelaki berkata: “Wahai, Rasulullah! Sesungguhnya syari’at Islam telah banyak bagiku, oleh karena itu, beritahulah aku sesuatu buat pegangan”. Beliau bersabda: “Tidak hentinya lidahmu basah karena dzikir kepada Allah (lidahmu selalu mengucapkannya).” [4]

Rasul Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
((مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُوْلُ: {الـم} حَرْفٌ؛ وَلَـكِنْ: أَلِفٌ حَرْفٌ، وَلاَمٌ حَرْفٌ، وَمِيْمٌ حَرْفٌ)).
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an, akan mendapatkan satu kebaikan. Sedang satu kebaikan akan dilipatkan sepuluh semisalnya. Aku tidak berkata: Alif laam miim, satu huruf. Akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.” [5]

وَعَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ وَنَحْنُ فِي الصُّفَّةِ فَقَالَ: ((أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ كُلَّ يَوْمٍ إِلَى بُطْحَانَ أَوْ إِلَى الْعَقِيْقِ فَيَأْتِيْ مِنْهُ بِنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ فِيْ غَيْرِ اِثْمٍ وَلاَ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ؟ )) فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ نُحِبُّ ذَلِكَ. قَالَ: ((أَفَلاَ يَغْدُوْ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَعْلَمَ، أَوْ يَقْرَأَ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ، وَثَلاَثٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلاَثٍ، وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَرْبَعٍ، وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ اْلإِبِلِ)).

Dari Uqbah bin Amir Radhiallahu’anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam keluar, sedang kami di serambi masjid (Madinah). Lalu beliau bersabda: “Siapakah di antara kamu yang senang berangkat pagi pada tiap hari ke Buthhan atau Al-Aqiq, lalu kembali dengan membawa dua unta yang besar punuknya, tanpa mengerjakan dosa atau memutus sanak?” Kami (yang hadir) berkata: “Ya kami senang, wahai Rasulullah!” Lalu beliau bersabda: “Apakah seseorang di antara kamu tidak berangkat pagi ke masjid, lalu memahami atau membaca dua ayat Al-Qur’an, hal itu lebih baik baginya daripada dua unta.  Dan (bila memahami atau membaca) tiga (ayat) akan lebih baik daripada memperoleh tiga (unta). Dan (bila memahami atau mengajar) empat ayat akan lebih baik baginya daripada memperoleh empat (unta), dan demikian dari seluruh bilangan unta.” [6]

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

((مَنْ قَعَدَ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ، وَمَنِ اضْطَجَعَ مَضْجَعًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ)).
“Barangsiapa yang duduk di suatu tempat, lalu tidak berdzikir kepada Allah di dalamnya, pastilah dia mendapatkan hukuman dari Allah dan barangsiapa yang berbaring dalam suatu tempat lalu tidak berdzikir kepada Allah, pastilah mendapatkan hukuman dari Allah.” [7]

((مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ فِيْهِ، وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى نَبِيِّهِمْ إِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةٌ، فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ)).
“Apabila suatu kaum duduk di majelis, lantas tidak berdzikir kepada Allah dan tidak membaca shalawat kepada Nabinya, pastilah ia menjadi kekurangan dan penyesalan mereka, maka jika Allah menghendaki bisa menyiksa mereka dan jika menghendaki mengampuni mereka.” [8]

((مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً)).
“Setiap kaum yang berdiri dari suatu majelis, yang mereka tidak berdzikir kepada Allah di dalamnya, maka mereka laksana berdiri dari bangkai keledai dan hal itu menjadi penyesalan mereka (di hari Kiamat).” [9]
 


---------------------------------------
[1] HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari 11/208. Imam Muslim meriwayatkan dengan lafazh sebagai berikut:
“Perumpamaan rumah yang digunakan untuk dzikir kepada Allah dengan rumah yang tidak digunakan untuk dzikir, laksana orang hidup dengan yang mati”. (Shahih Muslim 1/539).
[2] HR. At-Tirmidzi 5/459, Ibnu Majah 2/1245. Lihat pula Shahih Tirmidzi 3/139 dan Shahih Ibnu Majah 2/316.
[3] HR. Al-Bukhari 8/171 dan Muslim 4/2061. Lafazh hadits ini riwayat Al-Bukhari.
[4] HR. At-Tirmidzi 5/458, Ibnu Majah 2/1246, lihat pula dalam Shahih At-Tirmidzi 3/139 dan Shahih Ibnu Majah 2/317.
[5] HR. At-Tirmidzi 5/175. Lihat pula Shahih At-Tirmidzi 3/9 dan Shahih Jaami’ush Shaghiir 5/340.
[6] HR. Muslim 1/553.
[7] HR. Abu Dawud 4/264; Shahihul Jaami’ 5/342.
[8] Shahih At-Tirmidzi 3/140.
[9] HR. Abu Dawud 4/264, Ahmad 2/389 dan Shahihul Jami’ 5/176.