widgets

Minggu, 29 Mei 2011

Tren Penambahan Nama Suami di Belakang Nama Istri



Sudah sering kita mendengar media menyebut nama istri-istri Presiden dengan menyertakan nama suaminya di belakang namanya. Sebagai misal, kita sering mendengar penyebutan nama Ibu Tien Soeharto, Ibu Ainun Habibie, Ibu Ani Yudhoyono, Michele Obama dan seterusnya. Namun anehnya, Megawati tidak pernah disebut oleh media atau menyebut dirinya dengan nama Megawati Kiemas. Namun Mega lebih dikenal dengan Megawati Soekarnoputri. Dan nama terakhir lebih indah didengar dan lebih benar.

Beberapa waktu lalu, di Facebook, aku juga melihat beberapa kawanku perempuan melakukan hal yang sama seperti kebiasaan orang di atas. Diantara kawanku yang baru saja menikah dan yang sudah lama menikah banyak yang ‘mengubah’ namanya dengan menambahkan nama suami di belakang nama aslinya. Jika nama suaminya adalah Ali sementara si istri bernama Fatimah, maka nama Fatimah diubah menjadi Fatimah Ali.

Ternyata tren penggunaan nama suami di belakang nama istri makin lama makin populer dan banyak ditiru oleh masyarakat luas di Indonesia. Ada perasaan jengah dan gelisah sebenarnya aku melihat fenomena itu. Terlebih lagi, saat aku melihat banyak akhwat-akhwat yang melakukan hal serupa. Entah mengikuti tren atau entah bagaimana, para akhwat-akhwat berjilbab besar itu juga menempatkan nama suami di belakang nama mereka dengan bangga. Aku pun makin tidak nyaman.

Ketidaknyamanan ini bukan tanpa alasan. Aku menganggap kebiasaan penambahan nama suami di belakang nama istri itu sesungguhnya bukanlah kebiasaan Islam. Itu merupakan kebiasaan orang Eropa yang entah berasal darimana. Sependek yang saya ketahui, di dalam kebiasaan umum dan aturan Islam, siapapun orangnya nasabnya tetap kepada ayahnya dan seterusnya ke atas, bukan kepada yang lain. Itulah mengapa kita mengenal sebutan bin dan binti.

Sebagai dasarnya ada cuplikan firman Allah SWT, “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka.” (QS. Al-Ahzab [33] : 5).

Dan sebagai penguatnya, Markaz al Fatwa didalam fatwanya No. 17398 yang dikutip oleh Ustadz Sigit Pranowo, Lc di Eramuslim menyebutkan bahwa menyandarkan nama istri kepada nama suaminya atau keluarga suaminya dan mencukupkan dengannya daripada nama ayahnya tidaklah diperbolehkan. Dikatannya, hal itu termasuk di antara kebiasaan orang-orang kafir.

Dikarenakan banyaknya fenomena para akhwat-akhwat yang menggandengkan nama suami di belakang nama mereka itulah aku menulis artikel singkat ini agar bisa menjadi pengingatan kepada kita semua khususnya kepadaku sendiri.

“Barang siapa bernasab kepada selain ayahnya dan ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka surga haram baginya.” Dikeluarkan oleh Bukhori dalam al-Maghozi bab : Ghozwatuth Tho`if (3982), Muslim dalam “al-Iman” (220), Abu Dawud dalam “al-Adab”

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya, maka baginya laknat ALLAH, para malaikat dan manusia seluruhnya”. [HR Ibnu Majah(2599) dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (6104)

KISAH ISTRI SHOLIHAH

(diceritakan oleh seorang akhwat melalui Face Book)
Sore itu, menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini seusai ashar.. seorang akhwat da...tang, tersenyum dan duduk disampingku, mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada pertanyaan itu. “anty sudah menikah?”. “Belum mbak”, jawabku. Kemudian akhwat itu .bertanya lagi “kenapa?” hanya bisa ku jawab dengan senyuman.. ingin ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan alasan.
“mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya. “nunggu suami” jawabnya. Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya- tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya “mbak kerja dimana?”, ntahlah keyakinan apa yg meyakiniku bahwa mbak ini seorang pekerja, padahal setahuku, akhwat2 seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” , jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
“kenapa?” tanyaku lagi. Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah cara satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.
Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat.
“saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari, es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya. Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali ukhty. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya saya juga lagi pusing. Suami minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata, “abi, umi pusing nih, ambil sendirilah”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat,
Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi deman, tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk diluar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yg di usapnya.
“anty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700rb/bulan. 10x lipat dari gaji saya. Dan malam itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya , ia selalu berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah2an umi ridho”, begitu katanya.
Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”, tutupnya.

Memahami Makna Thalabul Ilmi (Belajar)



       Pada bulan Juni ini setiap siswa di berbagai lembaga pendidikan pasti akan menerima hasil dari proses belajar mereka. Ada yang naik kelas dan ada yang tidak. Ada yang lulus dan ada yang tidak lulus. Ekspresi jiwa dari masing-masing mereka pun beragam. Ada yang gembira karena berhasil. Ada yang biasa-biasa saja ketika berhasil maupun tidak. Dan, ada yang bersedih bahkan patah semangat karena tidak naik kelas maupun tidak lulus. Terlebih orang tua, yang memiliki harapan besar atas keberhasilan putra-putrinya, akan merasa sangat terpukul saat mereka mengetahui putra atau putrinya 'gagal' dalam menjalani proses pendidikan. Sementara orang tua yang putra atau putrinya berhasil, akan merasa bergembira meski ada sebagian dari mereka yang belum memahami benar tentang makna hakiki dari belajar atau yang biasa disebut dengan thalabul ilmi.
       Oleh karena itu ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh mereka dan juga orang tua mereka, selaku penanggung jawab mereka dalam hal pendidikan. Bahkan orang tua-lah  yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah pada hari kiamat kelak, tentang anak-anak mereka. Sebagaimana sabda Nabi Shollallohu alaihi wa salam yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra., Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”(HR Al-Bukhari dan Muslim)
      Diantara pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:
      Pertama: Sudah benarkah tujuan mereka dalam mencari ilmu?
      Apakah tujuan mereka dalam mencari ilmu benar-benar untuk mencari ridha Allah dan agar berguna bagi agama Islam serta masyarakat secara umum?
      Ataukah tujuan mereka semata-mata hanya untuk mencari ijazah, yang akan mereka gunakan untuk mendapatkan pekerjaan, pangkat, jabatan atau kedudukan?
      Atau barangkali ada yang sama sekali tidak punya tujuan dalam mencari ilmu?
      Jika mereka menjawab bahwa tujuan mereka dalam mencari ilmu adalah semata-mata mencari ridha Allah dan agar berguna bagi agama Islam serta masyarakat secara umum, maka mereka pantas berbahagia. Sebab Nabi Shollallohu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa meniti suatu jalan untuk mencari ilmu (agama Islam), maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju surga. (HR Muslim)
      Namun jika jawaban mereka selain untuk mencari ridha Allah, dan justru hanya untuk mendapatkan harta, pangkat, jabatan dan kedudukan, maka hendaknya mereka beristighfar dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab meniatkan amalan yang disyariatkan Allah (baca: mencari ilmu Islam) untuk selain Allah, adalah termasuk syirik. Dan syirik akan menjauhkan manusia dari surga, bahkan mencium baunya saja tidak bisa.
      Nabi Shollallohu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa mempelajari suatu ilmu (ilmu syari), yang dengan ilmu itu semestinya dia mencari Wajah Allah, dia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkan kekayaan dunia, maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat. (HR Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Sunan Abi Dawud III/323/no:3664).
      Jadi, mencari ilmu harus semata-mata untuk mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala.
      Kedua: Apakah mereka faham dengan maksud ilmu yang wajib dipelajari sebagaimana dalam hadits berikut:  Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. dia berkata, Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam bersabda, “Menuntut Ilmu wajib bagi setiap muslim (laki dan perempuan).” (HR Ibnu Majah dan selainnya. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Targhib [I/72])
      Jika mereka menjawab tahu, maka sudah semestinya mereka akan memilih sebuah sekolah (tempat mencari ilmu) yang benar-benar memprioritaskan ilmu-ilmu yang wajib menurut Islam. Namun jika praktek mereka menyelisihi makna hadits tersebut di atas, pada hakikatnya mereka tidak memahami hadits tersebut. Atau bisa jadi maksud tahu mereka hanya pada batas arti tekstual saja.
      Adapun tentang maksud hadits di atas, para ulama berbeda pendapat mengenai ilmu yang wajib di pelajari.
      Dalam kitab Al-Jâmiush Shaghîr, Asy-Syuyuthi, 5264 disebutkan, bahwa mencari ilmu adalah wajib berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah, sedangkan ilmu yang wajib dipelajari adalah ilmu marifah. Yakni marifah (mengilmui) tentang Allah, Nabi, serta Agama Islam. Itulah yang kemudian populer dengan istilah ilmu Ushul Tsalatsah (Tiga Pilar Utama) yang terdiri dari marifatullah, marifatunnabi, dan marifatuddienil Islam.
      Hal ini dipertegas oleh hadits Nabi Shollallohu alaihi wa sallam, Barangsiapa mati, sedang dia mengilmui bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah, pasti masuk surga”. (HR Muslim I/55)
      Selain itu, ada dua klasifikasi pokok dalam pembagian ilmu:
1.      Ilmu Dien/Ilmu Syari:
a.       Fardhu ain, yaitu ilmu-ilmu yang akidan dan ibadah tidak benar dan tidak sah kecuali dengannya. Seperti: rukum iman dan rukun Islam.
b.      Fardhu Kifayah, yaitu ilmu yang membahas cabang ilmu dien secara detail dan rinci. Seperti ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu faraidh dll.
2.      Ilmu dunia/Ilmu kaun:
Yaitu segala ilmu yang dengan ilmu tersebut tegaklah maslahat dunia dan kehidupan. Seperti ilmu kedokteran, ilmu falak, ilmu hisab, ilmu perang, ilmu perdagangan, dan lain-lain. Hukumnya fardhu kifayah. (Al-Jami Libayanil ilmi wa fadhlihi, Ibnu Abdil Bar II/49 dan Aqidah Islamiyah, Muhammad bin Jamil Zainu 97).
      Dari uraian di atas, maka sudah seharusnya setiap orang, agar lebih memprioritaskan ilmu agama yang bersifat fardhu ain (wajib bagi setiap orang, jika ditinggalkan berdosa). Sebab jika ia tidak mengetahuinya maka akidah dan ibadahnya tidak akan menjadi benar dan sah.
      Sebagai penjelas dari ilmu fardhu ain, berikut kami sampaikan pendapat Syaikh Abdul Qadir Abdul Aziz dalam kitabnya Al-Jami fi Thalabil ilmi Asy-Syarif (I/109-139) tentang ilmu fardhu ain:
      Beliau membagi ilmu fardhu ain menjadi 3 macam:
1.      Ilmu yang wajib bagi setiap muslim dan muslimah tanpa terkecuali.
2.      Ilmu yang wajib bagi setiap muslim dan muslimah khusus yang terlibat dalam urusan tertentu, misalnya yang punya harta wajib mengetahui tentang zakatnya, yang berdagang wajib mengetahui berdagang menurut syariat.
3.      Ilmu tentang hukum kejadian atau peristiwa yang menimpa kepada dirinya atau kepada umatnya. Ilmu tentang kejadian atau peristiwa ini tidak diwajibkan sejak semula, tetapi begitu peristiwa tersebut menimpanya, maka ia wajib mengetahui ilmunya. Contoh kejadian yang menimpa umat saat ini adalah berhukum dengan selain syariat Islam dan ajakan kepada demokrasi, maka wajib setiap muslim dan muslimah mengetahui masalah ini.
Namun di sini kami hanya akan menyampaikan contoh dari ilmu fardhu ain pada bagian pertama saja yaitu ilmu yang wajib bagi setiap muslim dan muslimah tanpa terkecuali: yakni mengetahui:
·         Rukun Islam
·         Rukun Iman
·         Pembagian tauhid dan syarat-syarat sahnya.
·         Hal-hal yang membatalkan Islam dan bahwasanya mengkufuri thaghut adalah termasuk syarat sahnya Islam seseorang.
·         Ibadah-ibadah hati yang wajib, seperti ikhlas, mahabbah dll.
·         Menghafal surat Al-Fatihah karena termasuk rukun shalat.
·         Hukum-hukum thaharah
·         Hukum-hukum shalat supaya shalatnya sah.
·         Hukum-hukum puasa supaya puasanya sah.
·         Hukum-hukum jenazah sebagai persiapan jika pada suatu saat dituntut mengurusinya karena tidak ada orang lain.
·         Syarat-syarat wajibnya zakat. Jika ia termasuk orang yang wajib zakat, maka wajib mengetahui hukum-hukumnya
·         Syarat-syarat wajibnya haji. Jika dia termasuk berkewajiban karena mampu, maka wajib mengetahui hukum-hukumnya.
·         Syarat-syarat wajibnya jihad. Jika dia termasuk yang berkewajiban jihad, maka wajib mengetahui hukum-hukumnya.
·         Adab-adab yang diwajibkan syariat kepada setiap muslim dan muslimah. Misalnya: berbakti kepada kedua orang tua, kewajiban terhadap keluarganya (istri, anak-anak dsb), hak muslim kepada muslim lainnya, kewajiban minta izin, wajib makan yang halal dan menghindari yang haram, jujur dan amanah, amar makruf nahi munkar, wajibnya jilbab syari termasuk menutup sebagian besar dari wajah serta berhijab dari lelaki ajnabi (bukan mahram), serta istri wajib taat kepada suami dalam hal yang tidak maksiat dan memelihara hak-haknya.
·         Hal-hal yang diharamkan berupa ucapan, perbuatan, makanan, minuman, serta segala pekerjaan dan sumber penghasilan yang haram dan lain sebagainya.
·         Wajibnya bertaubat dari segala dosa yang lahir dan batin serta mengetahui syarat-syarat sahnya taubat.
·         Dan lain sebagainya.
Demikian penjelasan singkat dan global tentang makna hakiki belajar atau thalabul ilmi. Semoga para orang tua berikut putra putrinya bisa memahaminya serta mengaplikasikannya secara benar. Wallahu a'lam bish showab. (Arif Mahmudi)

KISAH SEORANG IBU


Alkisah, beberapa tahun yang silam, seorang pemuda terpelajar dari Surabaya sedang berpergian naik pesawat ke Jakarta. Disampingnya duduk seorang ibu yang sudah setengah baya. Si pemuda menyapa, dan tak lama mereka terlarut dalam obrolan ringan. “Ibu, ada acara apa pergi ke Jakarta ?” tanya si pemuda. “Oh…saya mau ke Jakarta, kemudian “connecting flight” ke Singapore untuk menengok anak saya yang ke dua”, jawab ibu itu. “Wouw… hebat sekali putra ibu”, pemuda itu menyahut dan terdiam sejenak.
Pemuda itu merenung. Dengan keberanian yang didasari rasa ingin tahu pemuda itu melanjutkan pertanyaannya.” Kalau saya tidak salah, anak yang di Singapore tadi , putra yang kedua ya bu? Bagaimana dengan kakak adik-adik nya?” “Oh ya tentu”, si Ibu bercerita : “Anak saya yang ketiga seorang dokter di Malang, yang keempat berkerja di perkebunan di Lampung, yang kelima menjadi arsitek di Jakarta, yang keenam menjadi kepala cabang bank di Purwokerto, dan yang ke tujuh menjadi Dosen di sebuah perguruan tinggi terkemuka Semarang.”"
Pemuda tadi diam, hebat ibu ini, bisa mendidik anak-anaknya dengan sangat baik, dari anak kedua sampai ke tujuh. “Terus bagaimana dengan anak pertama ibu ?” Sambil menghela napas panjang, ibu itu menjawab, “Anak saya yang pertama menjadi petani di Godean Jogja nak. Dia menggarap sawahnya sendiri yang tidak terlalu lebar.” kata sang ibu.
Pemuda itu segera menyahut, “Maaf ya Bu… mungkin ibu agak kecewa ya dengan anak ibu yang pertama, karena adik-adiknya berpendidikan tinggi dan sukses di pekerjaannya, sedang dia menjadi seorang petani?”

Apa jawab sang ibu..???

Dengan tersenyum ibu itu menjawab :
“Ooo …tidak, tidak begitu nak. Justru saya SANGAT BANGGA dengan anak pertama saya, karena dialah yang membiayai sekolah semua adik-adiknya dari hasil dia bertani”
Pemuda itu terbengong…
.
                                                       Hikmah yang bisa dipetik :
“Semua orang di dunia ini penting. Buka matamu, pikiranmu, hatimu. Intinya adalah kita” tidak bisa membuat ringkasan sebelum kita membaca buku itu sampai selesai. Orang bijak berbicara “Hal yang paling penting di dunia ini bukanlah SIAPAKAH KAMU? tetapi APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN UNTUK ORANG LAIN?”.

Perdagangan yang Menguntungkan


            Di dalam Al-Qur‘an, ada sebuah ayat yang menunjukkan infak merupakan perkara yang paling banyak disesali oleh seseorang saat maut menjemput. Alloh berfirman yang artinya, Dan berinfaklah dengan sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata, 'Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?'.” (Al-Munafiqun: 10).
            Ya, perkara yang seringkali dipikirkan seorang hamba menjelang ajalnya adalah harta yang ia tinggalkan. Sebab, ia telah menghabiskan umurnya di dunia untuk mengumpulkan harta yang dapat ia tinggalkan untuk anak-anaknya.
            Namun, hingga saat maut hendak menjemputnya, ia akan berkata, “Mengapa aku harus meninggalkan hartaku?” Lantas ia berusaha menghibur diri dan mencoba sekuatnya untuk menenangkan hati. Akhirnya, ia mulai menyesali kesalahannya, “Mengapa aku tidak bersedekah dengan hartaku? Seandainya aku bersedekah dengannya? Seandainya aku bisa hidup lagi di dunia?” Namun, penyesalan itupun tak berguna lagi baginya.
            Berinfak tidak musti harus menunggu hingga memiliki harta yang banyak. Namun, di saat harta kita masih sedikitpun, pintu berinfak terbuka lebar.
            Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersedekah meskipun seharga kurma, namun dari hasil yang baik –dan Allah tak akan menerima sesuatu kecuali yang baik- sesungguhnya Alloh akan menerima sedekah kurma tersebut dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia akan menggandakannya untuk orang yang bersedekah, sebagaimana salah seorang di antara kalian memelihara seekor anak kuda, sehingga sedekah kurma tersebut menjadi sebesar gunung.” (HR Al-Bukhari)
            Yang demikian agar tidak ada seorang pun yang beralasan, “Aku tidak memiliki apapun yang bisa disedekahkan.” Atau berdalih, “Aku hanya memiliki sedikit harta. Untuk menghidupi diri dan keluargaku saja tidaklah cukup.”
            Jika kita mencermati hadits tersebut sekali lagi, akan kita dapati bahwa Allah telah membuka pintu selebar-lebarnya untuk semuanya. Akan tetapi, hal penting yang harus diperhatikan dalam berinfak adalah “harus berasal dari hasil yang halal.” Sebab, Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya. Oleh sebab itu, setiap kali Aisyah ingin bersedekah, ia mengambil dirham yang ia miliki, kemudian ia celupkan ke dalam wewangian sebelum ia berikan kepada orang fakir. Ia tidak pernah sekalipun memilih hartanya yang terjelek untuk disedekahkan.
            Ya, karena hatinya telah dipenuhi dengan keimanan dan yang menjadi tujuannya adalah keridhaan Allah. Ia juga melakukannya untuk menggapai surga Allah. Ia memahami bahwa sedekah seorang hamba akan diterima Allah dengan tangan kanan-Nya sebelum sedekah tersebut sampai ke tangan orang yang menerimanya.
            Ketika Aisyah ditanya mengapa ia sering mencelupkan harta yang hendak ia sedekahkan ke dalam wewangian terlebih, baru kemudian ia berikan, ia menjelaskan, “Sesungguhnya, sedekah itu lebih dahulu sampai pada kedua tangan Allah sebelum sampai pada kedua tangan si fakir.”
            Pada hari kiamat kelak, Anda akan menghadap Allah dan mendapati apa yang Anda sedekahkan telah dikembangkan oleh Allah. Mungkin akan dikatakan kepada Anda bahwa harta inilah yang telah Anda berikan bagi diri sendiri.
            Ketika mendapati harta yang Anda sedekahkan menjadi berlimpah ruah, Anda akan terkejut dan –barangkali- akan berkata, “Ya Rabbi, apakah Engkau mengajakku bercanda? Benarkah harta yang aku sedekahkan di dunia menjadi berlimpah sebanyak ini?”
            Ya, Allah-lah yang mengembangkannya untuk Anda!
            Bayangkan, ketika Anda menyedekahkan sesuatu lalu Anda lupa dengan sedekah Anda tersebut, kemudian Anda meninggal dalam keadaan tidak mengetahui bahwa Allah mengembangkan sedekah tersebut untuk Anda, yaitu sejak Anda mengeluarkannya hingga tiba hari kiamat
            Lalu datanglah hari kiamat. Ketika itu Anda mendapati apa yang Anda sedekahkan telah menjelma menjadi sesuatu yang berlimpah ruah dan menggunung. Allah telah melipatgandakan sedekah tersebut untuk Anda.
            Apalagi yang Anda tunggu, wahai saudaraku! Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada satu hari di mana para hamba dapat berpagi-pagi di dalamnya kecuali akan turun dua malaikat (ke muka bumi). Salah seorang dari keduanya berkata, 'a Allah, berikanlah ganti kepada orang yang bersedekah'. Sedangkan yang satu lagi berkata, ‘Ya Allah, musnahkanlah harta orang yang menahan hartanya tak mau bersedekah'.” (HR Al-Bukhari)
            Sungguh, sedekah merupakan perdagangan yang menguntungkan!
(Sumber: Al-Infak fi Sabilillah, Dr. Raghib As-Sirjani, dengan perubahan).