widgets

Kamis, 28 Juli 2011

MEMOTONG RAMBUT DAN KUKU KETIKA JUNUB

Tentang memotong kuku dan rambut bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar), terdapat perbedaan pendapat :
  1. Tidak boleh
  2. Berkata Al – Ghazaly,

    ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من نفسه جزءاً وهو جنب؛ إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنباً، ويقال إن كل شعرة تطالبه بجنابتها

    Dan hendaklah dia tidak bercukur, memotong kukunya, mengasah pisau (untuk bercukur), menyebabkan darah mengalir atau memperlihatkan bagian tubuhnya ketika dia dalam keadaan junub (hadats besar), demikian ini karena semua bagian tubuh akan dikembalikan seperti semula pada hari kiamat nanti, dan akan kembali dalam keadaan hadats besar. Dikatakan, setiap rambut akan menuntut atas janabatnya. Apa yang disebutkan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin tersebut bagi manjadi dasar haramnya memotong rambut dan kuku bagi orang junub dan wanita yang sedang haidh (hadats besar). Berdasarkan pendapat tersebut sebagian maka wanita yang haidh ataupun orang junub biasanya menyimpan rambut atau kuku  yang terpotong untuk kemudian pada saat mandi janabah nanti ikut dibersihkan.
  3. Boleh
  4. Tidak ada dalil baik dalam Kitabullah maupun Hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang secara sharih (tegas) tentang tidak bolehnya wanita memotong kuku dan rambut saat haidh. Dalil yang ada adalah pendapat para ulama, dengan mengaitkan kewajiban membasahi seluruh tubuh dengan air saat mandi janabah. Pendapat Imam Ghazaly yang melarang memotong rambut dan kuku bagi orang junub dan wanita yang sedang haidh adalah pendapat yang tidak berdasarkan kepada nash-nash yang shahih baik itu dari Al Qur’an,  Hadits yang shahih ataupun dari Ijma kaum muslimin. Pendapat Al – Ghazaly tersebut juga bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Al – Bukhary dalam Fathul Bary :

    قال عطاء يحتجم الجنب ، ويقلم أظافره ، ويحلق رأسه ، وإن لم يتوضأ

    Berkata `Atha’: “Orang junub itu boleh berbekam, memotong kuku dan memangkas rambut walau tanpa wudhu lebih dahulu.” Sayyid Sabiq dalam Fiqhus-Sunnah menyatakan :

    يجوز للجنب والحائض إزالة الشعر ، وقص الظفر والخروج إلى السوق وغيره من غير كراهية

    “Diperbolehkannya bagi orang yang junub dan haidl untuk menghilangkan/ memotong rambut, memotong kuku, pergi ke pasar, dan selainnya tanpa ada sisi kemakruhan”.
Sedangkan Hadits Nabi

عن عَلِيٍّ رَضِيَ اَللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَنْ تَرَكَ مَوْضِعَ شَعْرَةٍ مِنْ جَنَابَةٍ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَعَلَ اللهُ بِهِ كَذَا وَ كَذَا مِنَ النَّارِ (رَوَاهُ اَحْمَدُ وَ اَبُو دَاوُدَ

Ali Karramallahu Wajhahu berkata : “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barang siapa meninggalkan satu tempat dari rambutnya hingga tidak terkena air ketika mandi dari janabah, Allah akan memberinya siksaan sedemikian rupa dalam neraka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Hadits tersebut adalah hadits tentang kesempurnaan dalam melaksanaan mandi karena hadats besar dan tidak berkait dengan hukum memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar)
Tanpa merendahkan pendapat yang menetapkan hukum memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar), tentunya wajib bagi setiap muslim untuk bertahkim kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan kembali kepada dua pedoman tersebut dalam menyelesaikan perbedaan.
Apa yang disebutkan oleh al – Bukhary adalah dalil yang kuat untuk menetapkan bahwa memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar) adalah boleh. Sedangkan perkataan Al – Ghazaly tidak dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan perbuatan memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar), karena perkataan itu adalah perkataan berdasarkan pendapat yang tidak berdasar kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

==========================================================================
Keterangan yang tidak memperbolehkan memotong kuku dan rambut pada saat haid bagi wanita atau juga umumnya bagi laki-laki dalam keadaan junub dapat kita temukan dalam  kitab Ghiza al-albab, Fathul Qarib, Ihya Ulumiddin, Syarh al-Iqna li Matn Abi Syuja’.
Dalam Ihya Ulumiddin sebagaimana dikutip dalam Mughni al-Muhtaj 1/72 dikatakan : Tidak semestinya memotong (rambut) atau menggunting kuku atau memotong ari-ari, atau mengeluarkan darah atau memotong sesuatu bagian tubuh dalam keadaan junub, mengingat seluruh anggota tubuh akan dikembalikan kepada tubuh seseorang. Sehingga (jika hal itu dilakukan) maka bagian yang terpotong tersebut kembali dalam keadaan junub. Dikatakan: setiap rambut dimintai pertanggungjawaban karena janabahnya.
Sedangkan khatib assyarbini mengatakan :  “setiap bulu (yang dicukurnya ketika berjunub itu) akan menuntut dari tuannya dengan sebab junub yang ada padanya.(Al-Iqna’,1/91).
“Janganlah sesiapa memotong kukunya dan menggunting rambut kecuali ketika ia suci” (Riwayat al-Ismaili dari Saidina ‘Ali r.a.)
Bagaimana dengan ulama yang lain ?
Sebaliknya jumhur ulama membolehkan memotong anggota tubuh ketika haidh maupun junub. keterangan  ini kita temukan dari penjelasan jumhur ulama kalangan maliki, hanafi, hanbali dan bahkan jumhur ulama Syafi’i. berikut diantaranya :
Imam ‘Atha’ (seorang Tabi’in terkenal) menyatakan ; “Tidak ada larangan orang yang junub untuk berbekam, memotong kuku dan mencukur rambut sekalipun tanpa mengambil wudhuk terlebih dahulu.” (Shahih al-Bukhari 1/496)
Imam Ahmad (pendiri mazhab Hanbali) tatkala ditanya berkenaan mengenai hukum orang yang junub sedangkan ia berbekam), mencukur rambut, memotong kuku dan mewarnai rambut atau janggutnya, ia menjawab; “Tidak mengapa.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan masalah ini dalam Majmu’ Fatawa, intinya: setahu beliau tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan makruhnya memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub, bahkan terdapat hadis shahih riwayat Bukhari-Muslim yang menegaskan bahwa (tubuh) seorang mukmin itu tidak najis. Dengan tambahan riwayat dari Shahih al-Hakim: ”baik dalam keadan hidup ataupun mati”. Demikian pula adanya hadis tentang perintah bagi yang haid untuk menyisir rambut pada waktu mandi, padahal sisiran bisa menyebabkan rontoknya rambut.
Syaikh Wahbah az-Zuhaili (ulama kontemporer) Dalam bukunya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, menulis, “Tidaklah dibenci dalam pandangan mazhab Hanbali bagi seorang yang junub, atau dalam keadaan haid, atau nifas, menggunting rambutnya, kukunya, dan tidak juga ‘menyemir’ rambutnya sebelum mandi.”
Ulama –ulama syafi’iyah sendiri kebanyakan tidak sepakat dengan pendapat Imam Ghazali tersebut, diantaranya  yang bisa kita sebutkan adalah Syekh Khatib As-Syarbini, dalam kitab I’anat Thalibin 1/96 beliau berkata : “Tentang akan kembalinya (anggota tubuh) semisal darah, pendapat ini perlu diselidiki lagi. Demikian pula (bagian tubuh) yang lainnya. Karena (bagian tubuh) yang kembali (dibangkitkan bersama dengan pemilik bagian tubuh itu) adalah bagian-bagian tubuh yang pemilik tubuh itu mati bersamanya (ada pada saat kematian orang tersebut).”
Dalam kitab Syafi’i yang lain yaitu Niyatul Muhtaj Syarh al-Minhaj disebutkan: “makna ‘dikembalikan diakhirat (dari anggota tubuh) bukanlah bagian anggota tubuh yang diperintahkan untuk dipotong, tetapi adalah bagian-bagian tubuh yang asli (seperti tangan, kaki, mata dll.)
Lebih jelas lagi dalam kitab dalam Madzab Syafi’i yang lain yaitu Hasyiah al-Bujairimi ’ala al-Khotib, dalam kitab tersebut dikatakan bahwa pendapat Imam al-Ghazali tersebut perlu dikaji lagi sebab bagian tubuh yang kembali adalah yang ada disaat kematian pemiliknya dan bagian badan asli yang pernah terpotong, bukan seluruh kuku dan rambut yang pernah dipotong selama hidupnya. (Hasyiah al-Bujairimi ’ala al-Khotib 2/335)
Bantahan dari kalangan syafi’iyah juga dikemukakan oleh al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani, Imam Ibnu Rajab dalam sarah mereka pada shahih Bukhari,  Menurut mereka; tidak ada satupun dalil dari Nabi Saw yang mencegah orang yang sedang junub atau wanita yang sedang haid atau nifas dari melakukan perkara-perkara yang disebut tadi. Adapun hadis riwayat ali di atas, ia adalah hadits munkar bahkan  maudhu’ (palsu). (catatan penulis : hadis tersebut tidak kami temukan dalam al-kutub at-tis’ah bahkan kitab-kitab hadis selain itu di lebih dari 200 kitab hadis dalam maktabah syamilah)
Fatwa ulama al-Azhar, Syaikh ’Atiyah Shaqr)  menyebutkan bahwa pernyataan yang melarang memotong kuku dan rambut ketika dalam keadaan junub tidak berdasarkan dalil. Pendapat yang menyatakan makruh adalah pendapat yang la ashla lahu (tidak ada dasarnya). (al-Fatawa; Min Ahsanil-Kalam 1/438)
Demikian juga dalam kitab fikih yang muktamad, kalau kita telusuri hal-hal yang dilarang dikerjakan oleh orang yang sedang dalam keadaan junub, tak satu pun yang menyebutkan tidak boleh memotong kuku dan rambut.
Kesimpulan :
1.     Pendapat yang mu’tamad (bisa dipegang) adalah yang menyatakan bolehnya memotong anggota tubuh seperti kuku ketika junub. Adapun larangan memotong anggota tubuh ketika junub yang tertulis dalam beberapa kitab mazhab Syafi’i bersumber dari pendapat Imam al-Ghazali. Sedangkan Imam al-Ghazali sendiri tidak menyatakan larangan itu dengan kalimat yang tegas yang menunjukkan hukum haram. Beliau menggunakan lafadz: “la yanbaghi” yang artinya “tidak semestinya, tidak seharusnya atau tidak seyogyanya…”
2.     Tidak ada satupun dalil dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang shahih (kuat) dan sarih (jelas) yang menjadi dasar hukum larangan bagi orang yang memotong kuku dan rambut bagi orang yang sedang junub khususnya wanita yang haid.
3.     Jumhur ulama mazhab bahkan dari kalangan Syafi’iyah membantah dan mengkoreksi pendapat Imam al-Ghazali dalam masalah ini.
4.     Alasan Imam al-Ghazali bahwa bagian tubuh yang terpotong tersebut akan dikembalikan pada pemilik tubuh tersebut, maka  argument ini tidaklah tepat, sebab jumhur ulama menyatakan bahwa bagian tubuh yang dikembalikan adalah : (a) bagian-bagian tubuh lengkap yang ada pada waktu kematian pemiliknya, dan (b) bagian-bagian tubuh yang asli (al-ajza’ al-ashliyah) yang pernah terpotong sewaktu pemiliknya masih hidup seperti kaki dan/atau  tangan yang terpotong). Bagian-bagian itulah yang akan dikembalikan secara sempurna pada hari kiamat. Adapun kuku atau rambut yang disunnahkan untuk dipotong tidak termasuk bagian yang dikembalikan tersebut.

Wallahu A’lam bi as-Shawab

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar